Study enthusiastic novelty fully. Learn meaning to expose x'self you [at] this Wide [of] world Learn to remind, in fact unlikely you [of] soybean cake all answer. Learn to teach all important Iesson in life, that is humility to enquire.

Monday, April 09, 2007

PAGI BUTA MEREKA MENCOBLOS (MEMILIH TIGA NAMA)

By. Tamharuddin

Pemilihan utusan tingkat RT memang semarak dan ada saja hal yang menarik untuk di ceritakan, salah satunya adalah pemilihan utusan di tingkat RT pada RW I Kelurahan Klasaman. Pemilihan di laksanakan di saat orang lain masih menikmati rasa kantuk, atau masih tiduran karena masih terlalu pagi untuk beraktifitas, yaitu jam 06.30 WIT. Karena pemilihan di mulai pagi hari jadi pada jam 07.15 WIT sudah bisa di adakan penghitungan suara.
Kisahnya sederhana kenapa pemilihan di RT 06 ini sangat di luar kebiasaan di RT-RT lain. Pada hari minggu, Tanggal 08 Oktober 2006 di jadwalkan pemilihan tingkat RT di RW I. Untuk mempercepat dan tidak terlalu merepotkan, panitia sepakat pemilihan di RW I bersamaan harinya dan di tempat yang sama. RW I terdiri dari 6 RT, masing-masing RT telah mempersiapkan panitia dan kartu untuk di ambil setiap pemilih. Setelah saya perhatikan peserta dari RT 6 hanya ada 3 orang, yaitu Bapak RT (Opie), Bapak Marthen, dan bapak Albert. Kemudian saya bertanya ke panitia Bapak Melki Osok, pak, RT 6 warganya di undang kah untuk mengikuti pemilihan hari ini, ya katanya, semua ketua RT sudah di beritahukan untuk mengikuti pemilihan hari ini.
Setelah mendapat penjelasan dari bapak Melki saya menunggu berberapa saat, mungkin saja banyak warga RT 06 yang belum sempat hadir atau menunggu suasana agak dingin atau mulai teduh atau waktu sore. Maklum pemilihan di laksanakan jam 13.00 WIT setelah warga selesai sembayang di gereja, karena RW I mayoritas Kristen. Jam 13.40 saya lihat masyarakat sudah banyak yang berkumpul dan saya persilakan pak Melki selaku panitia pemilihan tingkat RW untuk membuka dan memberikan sedikit penjelasan tentang tata cara pemilihan.
Suara pak melki yang lantang membuat suara tersebut terdengar dengan jelas oleh masyarakat. Bapak Melki menjelaskan tata cara pemilihan sambil menyuruh sesorang untuk memperagakan dan kemana setiap orang memasukan suaranya ke kotak yang di sediakan berdasarkan RT masing-masing. Karena pada saat pemilihan di RW I hadir bapak Saleh selaku pematau di tingkat Kelurahan, saya meminta agar bapak Saleh duduk di meja dekat pengambilan kartu suara.
Pemilihan masih berlangsung saya melihat dari RT 06 jumlah yang hadir masih sedikit sekali, saya menghampiri bapak RT 06 dan menanyakan kemana warga RT 06 yang akan mengikuti pemilihan hari ini. Kebingungan bapak RT menjawab bahwa menurut informasi dari panitia bahwa hari ini hanya akan memilih 3 orang dari RW I yang nanti akan di utus mengikuti pemilihan tingkat Kelurahan. Karena saya melihat ada kesalahan dalam menerima informasi dan saya berunding ke panitia bagaimana untuk RT 06 yang tempatnya terpisah dengan RT-RT yang ada di RW I dilaksanakan sendiri saja. Bapak melki setuju tapi kalau bisa secepatnya agar pemilihan di tingkat kelurahan tidak mengalami penundaan.
Saya menghampiri 3 orang utusan dari RT 06 dan menanyakan apakah RT 06 siap untuk mengadakan pemilihan sendiri dalam waktu dekat. Ke tiga orang yang hadir menyatakan siap dan kemudian berunding untuk menentukan waktu pemilihan. Setelah berunding mereka bertanya kepada saya, kalau besok, senin (Tanggal 09 Oktober 2006) ada RT lain yang mengadakan pemilihan tidak(agar tidak bertabrakan maksudnya). Kemudian saya melihat jadwal pemilihan, apakah hari Senin ada kegiatan pemilihan, ternyata hari senin ada pemilihan di RT 1 dan 2 di RW IV, jam pelaksanaan pagi jam 08.00 WIT dan sore nya ada pemilihan di RT 4 RW IV yaitu jam 16.00 WIT.
Kemudian mereka bertanya bagaimana kalau kegiatan pemilihan di laksnakan pagi hari sebelum pelaksanaan di RT 1 dan 2 RW IV. Saya kemudian balik bertanya jam berapa pelaksanaannya kalau sebelum kegiatan di RW IV yang dilaksanakan pada jam 08.00 WIT, mereka dengan yakin berkata jam 06.00 WIT masyarakat sudah berkumpul dan pemilihan akan selesai sekitar jam 07.30 WIT sehingga tidak menggangu kegiatan bapak ke RW IV untuk meilhat pemilihan di sana. Sebentar saya katakana saya akan berdiskusi dulu dengan panitia apakah mereka bersedia hadir kalau sepagi itu, padahal saya pikir saya sendiri masih tidur karena setelah sholat Subuh biasanya saya tertidur lagi (tapi ini Rahasia) dan untuk konsumsi sendiri saja. Jawaban pak Melki ternyata sangat mengejutkan bahwa beliau setuju dan besok jam 06.00 WIT ia jamin sudah berada di RT 06 walau lokasi lumayan jauh dari rumahnya. Akhirnya saya katakana saya dan panitia bersedia hadir besok jam 06.00 WIT, dengan pesan mungkin saya agak telat jam 07.00 WIT baru datang dan tak perlu tunggu saya biar penitia yaitu pak Melki yang akan dahuluan, satu lagi jangan molor karena jam 08.00 WIT saya ada pmilihan di RW IV.
Setelah makan sahur dan Sholat Subuh saya berusaha untuk tidak tidur, namun karena mata tidak kompromi saya tertidur, bangun-bangun waktu sudah menunjukan jam 06.15 WIT. Karena puasa jadi tidak repot untuk makan atau sarafan pagi, mandi dan langsung berangkat. Untung perjalanan Rumah ke lokasi tidak terlalu jauh, sekitar jam 06.45 saya tiba, benar pak melki sudah berada di lokasi menurut pak RT jam 06.00 WIT pak Melki sudah berada di lokasi bersama kami. Saya lihat masyarakat masih banyak yang berkumpul dan masih ada berberapa yang memilih. Orang yang sudah memilih ingin melihat penghitungan suara sebelum berangkat ke ladang.
Setelah di tunggu berberapa saat tidak ada lagi masyrakat yang memilih panitia memutuskan untuk menghitung kartu suara. Kotak suara di buka panitia dan kartu suara di tumpahkan di atas meja. Setelah di periksa dan panitia mengangkat kotak menunjukan bahwa kotak sudah kosong. Penghitungan kartu suara di mulai, ternyata yang memilih sejumlah 154 orang. Panitia mencocokan jumlah suara yang masuk dengan jumlah absen yang ada, jumlahnya sama. Panitia meminta kertas besar dan spidol untuk segera menghitung.
Penghitungan berjalan lancar ada banyak nama yang disebut, jumlah nama yang di sebut adalah 35 orang ada di antaranya wanita. Penghitungan selesai dan kelihatan jumlah perolehan suara terbanyak. Namun di sayangkan jumlah suara yang memilih perempuan sangat sedikit. Berikut nama dan perolehan suara di RT 06 :
1. Marthn Sagisolo Jumlah 55 suara
2. Albert Kaliele Jumlah 48 suara
3. Daud Marar Jumlah 20 suara
Dan sisanya rata-rata 6 dan ada yang hanya mendapatkan 1 suara, ya itulah namanya pemilihan dan di P2KP setiap orang bisa saja memilih peribadinya sendiri asal dirasanya termasuk orang yang jujur, baik, ikhlas dan bertanggunga jawab.
Jam 08.05 WIT penghitungan selesai dan saya segera menuju pemilihan di RT berikutnya, coblos lagi-coblos lagi, pilih lagi-pilih lagi.
KITONG (KITA SEMUA) MISKIN KARENA. ..................................?

By. Tamharuddin

Pelaksanaaan Refleksi Kemiskinan di RW IV Kelurhan Klasaman sesuai jadwal yang disepakati tim faskel dan relawan adalah hari Sabtu, 2 September 2006 jam 08.00 WIT (karna mayoritas warga adalah petani), bertempat di rumah ketua RT, tepatnya di RT 01. RW IV terdiri dari 6 RT, 4 RT sudah dilaksanakan berberapa hari yang lalu. Sesuai jam yang direncanakan tim faskel hadir, belum ada warga yang hadir, tetapi bapak Zet Malaseme selaku ketua RT telah mempersiapkan tempat sejak pagi-pagi sekali. Saya menyampaikan salam ke ketua RT, dan langsung dipersilakan masuk ruangan yang akan dipakai. Wah maaf ini pak, sudah jam 08.00 WIT warga belum ada yang muncul. Tidak apa-apa pak kita tunggu saja, tapi undangan sudah disebar relawan pak tanya saya?. Ya semua undangan sudah disebar dan saya yang menanda tangani, barusan saya suda toki (pukul, bahasa Papua) lonceng agar warga kumpul, jawab nya, jumlahnya yang di undang juga banyak, yaitu 40 orang.
Sekitar 10 menit tim faskel menunggu, warga mulai berdatangan tetapi masih berdiri dan bercerita satu sama lain di luar. Melihat kondisi itu saya berbisik ke ketua RW bagaimana kalau kita minta masuk semua warga yang sudah hadir. Kita tunggu lagi sebentar lagi saja jawab pak Zet, karena warga masih terlalu sedikit selain itu relawan juga belum terlihat. Jam 08.20 WIT, gantian ketua RW yang berbisik ke saya, sudah pak kita mulai saja, itu relawan sudah datang dan warga yang terlambat biar menyesuaikan saja. Baik pak karena waktu mulai siang jangan sampai warga tidak bisa ke ladang nantinya.
Sebelum diskusi di mulai, ketua RW membacakan susunan acara terlebih dahulu, salah satu acaranya adalah sosialisasi tentang Refleksi Kemiskinan oleh relawan yang ada. Relawan menyampaikan teknis nanti dalam berdiskusi terutama karena di ruangan yang hadir terdiri dari 2 RT, jadi nanti diharapkan warga duduk berdasarkan RT masing-masing.
Mengingat waktu mulai siang diskusi dimulai, namun warga dibagi menjadi 4 kelompok yang masing-masing RT terbagi 2 kelompok. Relawan memandu yang didampingi fasilitator. Saat peserta di tanyakan perbedaan antara orang miskin dengan orang yang mampu, jawaban mereka sangat sederhana yaitu kalau orang yang kaya adalah yang menjadi pegawai negeri. Sementara kalau orang yang menjadi petani adalah orang yang tidak mampu.
Jawaban yang dilontarkan peserta dalam kelompok tersebut sangat sederhana, kemudian saya bertanya bagaimana dengan pegawai negeri yang mempunyai golongan 1 dan anaknya banyak. Walaupun dengan analogi seperti itu tetapi dalam fikiran peserta jika pegawai negeri termasuk orang yang mampu. Karena peserta yang lainpun sepakat bahwa salah satu yang membedakan orang mampu dan tidak mampu dilihat dari statusnya sebagai pegawai negeri atau bukan pegawai negeri. Diskusi berkembang sehingga muncul hal lain yang menjadi pembeda orang mampu dan yang tidak mampu, seperti rumah tidak layak, dan tidak punya kerjaan tetap.
Saat peserta di tanyakan mengapa mereka menjadi miskin. Seorang bapak kemudian angkat bicara bahwa warga kami miskin ini karena ulah pemerintah yang tidak pernah memperhatikan kami tarutama petani (bapak ini pensiunan). Bapak tadi mencontohkan apa yang ada dilingkungan kami sekarang ini semata-mata karena keswadayaan kami. Bapak-bapak bisa lihat sendiri bahwa kami mayoritas keluarga petani, seharusnya pemerintah memberikan kami pelatihan dan penyuluhan bagaimana cara bercocok tanam yang baik seperti orang seberang (Orang Jawa, red). Seharusnya pemerintah memberi bantuan pupuk agar apa yang kami tanam benar-benar baik. Karena ketidak pedulian pemerintah itulah kami tetap dalam kehidupan seperti sekarang ini. Peserta yang lain setuju apa yang di sampaikan tersebut. Lihatlah bagaimana warga kami kalau bercocok tanam tidak ada yang khusus menanam satu tenaman di tempat tertentu dan dengan perawatan benar, tetapi lebih cendrung asal tanaman dan akhirnya kalau gagal berpindah tempat, di lahan lain seperti itu juga.
Semangat bapak tersebut cukup bagus dan beliau memberikan contoh dari dinas pertanian yang tidak pernah bersedia terjun langsung berbeda dengan berberapa tahun yang lalu (si bapak menyebut satu nama tapi saya lupa namanya), sekarang pegawai pertanian walaupun sudah di minta untuk datang tetapi tetap tidak bersedia datang. Harapan kami bapak mau menjembatani antara keinginan kami untuk mendapat pengetahuan berrtani yang baik (terutama yang petani).
Keinginan warga sebenarnya sederhana, yaitu mendapatkan perhatian dari pemerintah baik dalam bentuk pelatihan atau bentuk penyuluhan yang dapat membantu merubah cara atau pola bertani yang di rasa kurang berhasil selama ini.
SATU JUTA RUPIAH (1000.000) MENJADI UJIAN ANGGOTA BKM KLASAMAN

By. Tamharuddin


Organisasi baru atau sebuah lembaga baru seperti BKM tentu sangat membutuhkan banyak hal, yang diharapkan akan membuat lembaga tersebut kuat. BKM ibarat bayi yang baru lahir, masih sangat membutuhkan bantuan dan masukan dalam segala hal, terutama materi dan motivasional dalam rangka penyatuan gerak untuk mencapai tujuan. Apalagi BKM merupakan sebuah lembaga yang diharapkan dapat membantu masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan. Artinya kemampuan anggota BKM dalam mengenal, merencanakan, memutuskan dan mengevaluasi semua kondisi dalam lingkungan sangat dinanti seluruh masyarakat.
Menyadari BKM sebagai lembaga baru yang sangat membutuhkan bantuan, terutama yang berkaitan dengan pembinaan dan pendanaan. Pembinaan bisa dalam bentuk pembekalan dan bantuan dalam bentuk dana, tentu akan meningkatkan kemampauan dan kepercayaan yang dibutuhkan anggota. Kemampuan dan kepercayaan BKM sebagai lembaga merupakan sebuah modal awal yang nanti bisa mempercepat gerak anggota dalam membantu masyarakat keluar dari persoalan yang dihadapi.
Kepercayaan Kepala distrik Sorong timur terhadap anggota BKM di buktikan dengan memberikan insentif atau bantuan dalam bentuk dana. Sebagai lembaga baru BKM menyambut bantuan tersebut, bantuan tersebut tentu sangat berarti, terutama karena ke depan sangat banyak yang harus dipersiapkan dalam rangka mencapai visi dan misi BKM.
Mendapat kepercayaan dan bantuan dana segar dari Kepala DIstrik Sorong Timur, Badan Keswadayaan Masyarkat (BKM) Klasaman seolah memiliki amunisi dan energi baru. Dana segar tersebut di berikan Kepala Distrik Sorong Timur saat anggota BKM Klasaman menemui beliau dalam rangka memperkenalkan anggota BKM, walaupun sebenarnya mayoritas anggota BKM sudah di kenal Kepala Distrik, karena anggota BKM Klasaman banyak yang menjabat ketua RW atau RT. Namun sebagai lembaga baru yang berada di tingkat kelurahan ada baiknya untuk memperkenalkan kepengurusan dan kedudukan di mulai di tingkat kelurahan dan distrik, bahkan sampai ke walikota selaku pimpinan tertinggi di tingkat kota.
Seiring dengan perjalanan waktu, BKM yang mulai melakukan kegiatan tantu banyak peristiwa yang menarik bahkan yang mengkhawatirkan BKM sebagai kumpulan berberapa orang yang tidak saling mengenal sebelumnya. Hal yang mengkhawatirkan terutama dalam pengelolaan dana bantuan dari Kepala Distrik Sorong Timur. Bantuan tersebut menjadi ujian pertama yang di hadapi anggota BKM. Berberapa hal yang tidak diharapkan terjadi, seperti adanya kecurigaan di antara berberapa anggota.
Kecurigaan itu mencapai puncaknya saat koordinasi yang diadakan mendadak pada hari minggu 27 November 2006 (koordinasi rutin BKM sesuai jadwal hari Sabtu sore), sehari setelah koordinasi rutin. Koordinasi itu menjadi ajang berberapa anggota BKM untuk melihat laporan keuangan dan meneliti pengeluaran. Sungguh sangat di sayangkan peristiwa itu, adanya kecurigaan sangat jelas terlihat, salah satunya dengan di periksa nya semua item pengeluaran oleh sebagian anggota BKM (dengan dalih keterbukaan/transparansi).
Setelah pelaporan keuangan selesai dan saat memasuki acara lain-lain, saya selaku fasilitator minta waktu berbicara. Kesempatan yang ada saya manfaatkan untuk mencoba membangkitkan lagi semangat kebersamaan. Saya mengajak kejadian ini menjadi sebuah pelajaran yang sangat berarti, bahwa uang memang BKM butuhkan namun uang juga bisa membuat kita saling curiga, dan saling tidak percaya. Saya mengajak untuk mencoba saling memafkan kesalahan dan terbuka terutama mengenai keuangan yang ada dan jangan jadikan uang sesuatu yang menghancurkan cita-cita mulia kita untuk membantu masyarakat.
Kalau ditelusuri lagi ke belakang saat Kepala Distrik memberikan dana sejumlah Rp. 1000.000 (satu juta rupiah) saya dan koorkot yang pada waktu pertemuan itu hadir sangat bangga dan besar sekali harapan bahwa dana tersebut dapat membantu kegiatan anggota BKM melangkah. Namun dengan berjalannya waktu dan apa yang terjadi dalam anggota BKM menyurutkan semangat dan menimbulkan rasa kecewa yang mendalam. Selama ini saya berharap dana tersebut dapat menambah atau memperkokoh komitmen dan semangat anggota BKM, ternyata saya keliru justru dana tersebut menimbulkan sedikit persoalan.
Kejadian tersebut tidak membuat saya dan anggota BKM menyesali dan terus menerus menyalahkan salah satu fihak, tetapi saya mencoba mengajak anggota BKM melupakan dan bersikap wajar agar tidak menjadi persoalan berlarut-larut. Kejadian tersebut adalah ujian pertama anggota BKM, karena ini suatu ujian tantu akan memunculkan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama jika anggota BKM mampu mengatasi ujian ini dan mau belajar dari ujian ini, tentu akan membuahkan hasil yang berarti dan BKM ATAA (Persauadaraan, bahasa Papua) memiliki pengalaman yang berharga. Kemungkinan ke dua, jika anggota BKM gagal dan anggota BKM larut dalam saling curiga an tidak percaya, tentu akan menimbulkan ketidak harmonisan dan persinggungan terutama antar sesama anggota BKM.
Sebagai fasilitator saya sangat tidak berharap jika kemungkinan ke dua yang terjadi, dan saya berdoa di setiap selesai sholat agar hati anggota BKM menjadi satu kembali. Saya berharap kebersamaan yang baru di bina menjadi mekar kembali dan akan menimbulkan bau yang harum bagi masyarakat dan sesama anggota BKM. Saya juga yakin kalau semua anggota BKM yang terpilih tidak ada yang mengkhendaki hal di atas terjadi. Saya juga berkeyakinan kejadian ini akan segera dilupakan dengan tidak ada keinginan unutuk mengulangi kembali. Semoga kejadian di atas benar-benar menjadi sebua pelajaran yang sangat berharga, dan saya sekali lagi yakin anggota BKM akan menjadikan pengalaman ini sebagai guru. Saya ingat pepatah kalau pengalaman adalah guru yang terbaik. Persaudaraan akan terjadi kembali di dalam anggota BKM, seperti harapan semula sewaktu anggota BKM memberikan nama ATAA (persaudaraan, bahasa suku MOI, Papua) untuk nama BKM. Harapan saya bahwa yang mengawali atau yang mempunyai ide agar keuangan tersebut di beritahukan di depan semua anggota BKM, tidak sedikitpun mempunyai keinginan untuk mempermalukan atau menuduh orang lain. Keinginan tersebut semata karena ingin adanya kerjasama yang baik antara semua anggota BKM. Selamat bekerja anggota BKM Klasaman mari kita singkirkan semua yang apat menyebabkan kita tidak saling percaya.
HEWAN PELIHARAAN PUN MENJADI SAKSI
(Saat Refleksi Kemiskinan RW VIII Klademak)

By. Tamharuddin

Diskusi refleksi kemiskinan di RW VIII Kelurahan Klademak berjalan lancar walaupun waktu yang di janjikan sempat tertunda. Waktu semula direncanakan pada jam 16.30 WIT namun karena sampai waktunya belum ada yang hadir, sementara tim faskel sudah datang, ketua RW pak Agustinus Srauns berbisik “sebentar ya pak saya akan panggil warga untuk datang”. Berberapa menit pak Agustinus berteriak memanggil warga dengan suara yang keras dan semakin lama semakin meninggi. Karena teriakan ketua RW warga yang mendengar, satu persatu bermunculan dan berkumpul di sekitar rumah ketua RT 04 bapak Mesakh Salossa.
Setelah dirasakan warga yang hadir sudah cukup untuk melakukan diskusi, saya menghampri ketua RW yang sedang membaca bahan diskusi. Bagaimana bapak, acara bisa dimulai kah. Mari sudah (jawab ketua RW) kita mulai saja masyarakat masih banyak di kebun biar nanti yang datang membuat kelompok lain. Kemudian saya menghampiri relawan dan meminta untuk membagi warga berdasarkan RT masing-masing, dan sesuai dengan kondisi ekonomi mampu atau tidak mampu menurut relawan. Setelah terbagi menjadi 2 kelompok mampu dan kelompok yang tidak mampu relwan yang hadir melebur dalam kelompok yang ada.
Peserta yang ikut diskusi menjawab pertanyaan pancingan dan lontaran relawan dengan semangat. Tidak jarang terjadi perdebatan antar peserta, saat di tanyakan perbedaan orang yang mampu dan yang tidak mampu. Peserta yang satu mengatakan bahwa salah satu perbedaan dilihat dari kepemilikan rumah dan hewan peliharaan seperti babi dan lain-lain. Menurutnya orang yang mampu rumahnya memiliki penerangan PLN dan babinya banyak. Peserta yang lain kurang setuju karena menurutnya lampu dan babi itu tidak bisa menjadi ukuran mampu seseorang, karena bisa jadi lampu dipasang berberapa tahun yang lalu saat masih belum terlalu mahal dan saat pasir masih belum banyak saingan (RW VIII Klademak merupakan daerah yang mempunyai tambang pasir) sementara sekarang penambang pasir sudah banyak. Kedua katanya meneruskan babi yang dimiliki itu jarang juga kita jual, kalupun dijual untuk keperluan anak sekolah dan untuk memenuhi tuntutan budaya atau adat perkawinan dan lain-lain
Diskusi memang cukup menarik dan yang lebih menarik lagi saat pembicaraan mengenai hewan peliharan tersebut, babi dan anjing banyak berkeliaran di sekitar tempat diskusi. Saya bertanya kepada salah satu peserta, babi yang itu (saya menunjuk yang lagi bunting) kira –kira kalau dijual berapa harganya ?, jawab mereka kalau sebesar itu sekarang lagi mahal bisa sampai 700 ribu rupiah, terutama menjelang natal. Saya bertanya bukankah setiap rumah memelihara babi, karena begitu banyak babi yang berkeliaran di sini. Mereka menjawab tidak semua memiliki, bahkan katanya babi itu hanya dimilki segelintir orang saja.
Pembicaraan mengenai hewan peliharaan tersebut memang menimbulkan sikap yang berbeda, warga ada yang tidak menyetujui jika hewan itu berkeliaran, seperti yang terungkap saat sosialisasi di kantor lurah Klademak. Namun mereka juga tidak bisa berbuat banyak karena menurut mereka belum ada larangan yang tegas dari pemerintah. Kalau di perkampungan seperti ini ada yang beranggapan hewan itu tidak terlalu mengganggu tetapi jika di perkebunan warga, hewan itu merusak semua tanaman yang dimiliki warga. Karena belum ada larangan yang tegas dan persamaan sikap terhadap hewan-hewan tersebut, wajar jika kita berjalan di perkampungan di Kelurahan Klademak akan menemukan banyak sekali babi dan anjing yang berkeliaran.
Persoalan hewan peliharaan warga memang menjadi topic menarik saat diskusi berlangsung, dan ungkapan tentang banyaknya hewan yang berkeliaran tersebut belum berhubungan langsung dengan penyebab kemiskinan di wilayah tersebut. Dan semua peserta diskusi tidak sadar kalau pembicaran ditonton langsung oleh hewan yang berkeliaran di samping peserta, sayang hewan tersebut tidak bisa memberikan tanggapan apalagi protes kalau sedang di bicarakan, hewan tersebut hanya menjadi saksi nyata saat warga berdiskusi mencari rumusan tentang kemiskinan dan mencari jalan keluar dari kemiskinan.
Hewan tersebut cukup beruntung kalau masyarakat tidak merumuskan kerusakan lingkungan di sekitar karena ulah dari hewan yang berkeliaran di mana-mana. Walaupun mungkin masyarakat menyadari kalau banyak tanaman yang di rusak oleh hewan tersebut. Tetapi masyarakat belum bisa berbuat banyak selagi belum ada kesepakatan bersama perlakuan tentang hewan-hewan yang berkeliaran tersebut.
Masa yang akan datang mulai harus di pertimbangkan dengan banyaknya hewan yang berkeliaran di perkampungan di Kelurahan Klademak. Bukan suatu hal yang mustahil suatu saat hewan tersebut akan menjadi penyebab timbulnya berbagai macam penyakit, yang nantinya akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat yang lebih layak. Sekarang warga belum merasakan langsung dampak berkeliaran hewan-hewan tersebut. Tetapi nanti ada saatnya akan datang hewan tersebut menimbulkan persoalan. Kapan saat itu tiba kita tunggu saja, setahun, dua tahun, sepuluh tahun atau bahkan dalam waktu yang tidak ditentukan.
MASYARAKAT PAPUA TARADA (TIDAK ADA ) YANG MISKIN

Refleksi Kemiskinan di RW III
Kelurahan Klasaman

By. Tamharuddin

Sewaktu saya dan teman-teman lagi makan malam di warung langganan yang lokasinya dekat kantor, tiba-tiba ponsel saya berdering. Hallo, selamat malam, kata saya sambil tidak berhenti mengunyah nasi. Malam pak jawab suara di seberang ponsel saya. Maaf pak malam ini kita ada FGD (Focus Group Discusi) Refleksi Kemiskinan, bapak bisa hadir kah, karena relawan yang datang hanya saya sendiri sementara peserta kira-kira bisa di bagi menjadi tiga kelompok. Kemudian saya balik bertanya jam berapa acaranya, sekarang pak, dong (mereka, dalam bahasa Papua) su (sudah, dalam bahasa Papua) kumpul. Ya baik saya kesana, bergegas saya menyelesaikan acara makan malam, sementara teman-teman tetap menikmati hidangan yang ada, saya pamit ke teman-teman untuk menuju ke lokasi (itulah fasilitator, layaknya seorang dokter kandungan yang di panggil pasiennya karena segera mau melahirkan).
Setibanya di lokasi saya melihat orang sudah berkumpul, saya masuk dan langsung menyapa dengan salam orang Papua yaitu selamat malam, malam jawab mereka. Setelah berbasa-basi sedikit dengan relawan dan ketua RT, relawan mengatakan kalau acara di mulai saja, ya silakan kata saya.
Sebelum diskusi di mulai, relawan menjelaskan tentang P2KP dan tujuan kita mengadakan pertemuan malam ini. Saat relawan menyebutkan kata miskin, yang sering di rangkaikan dengan refleksi kemiskinan, salah seorang mengintrupsi dan dengan nada sedikit marah dia mengatakan bahwa kita orang Papua tidak ada yang miskin. Relawan kemudian memberikan pengertian seperti yang di dapatkan saat pelatihan, namun orang tersebut tetap tidaksetuju dan tidak mau mendengar lagi kata-kata miskin tersebut. Orang tersebut mencontohkan bahwa di Papua sangat kaya akan Sumber Daya Alam(SDA), emas, perak, dan tanah yang luas. Relawan mendapatkan kesulitan memberikan pengertian yang di maksud dengan kata miskin tersebut, dan ia melirik ke saya kemudian berkata mungkin fasilitator bisa menambahkan atau menjawab keinginan bapak satu ini.
Setelah ada kesempatan maka saya mencoba untuk menjelaskan bahwa kita membahas kemiskinan bukan dalam rangka untuk mengolok-olok atau menghina orang miskin, atau bukan ingin mengatakan bahwa orang Papua miskin. Tetapi kita ingin menggugah kepedulian kita bahwa di lingkungan kita ada orang yang tidak mampu untuk makan secara baik (apakah 3 kali sehari ), ada orang di sekitar kita untuk mendapatkan air bersih butuh waktu, tenaga bahkan uang. Ada juga orang di sekitar kita yang belum menikmati listrik , ada yang tidak mampu sekolah sampai ke jenjang yang tinggi. Walaupun kita tahu tanah Papua luas tetapi kita pun tahu tanah tersebut ada yang punya dan kita tidak bisa sembarang untuk memiliki. Semua juga tahu kalau kita ingin membangun di tanah manapun tentunya kita harus membeli tanah tersebut, sementara masih banyak di lingkungan kita yang tidak punya uang apalagi modal. Hal-hal itulah yang ingin kita ketahui di sekitar kita, dengan mencoba untuk merumuskan bersama tentang kemiskinan atau penyebab masih ada orang yang tidak beruntung atau orang yang kurang mampu. Dengan penjelasan yang singkat itu yang bertanya dan peserta yang lain sepintas bisa menerma.
Ruangan sempat menjadi hening sebentar, masyarakat seperti mencoba merenungkan apa yang di bahas, atau masyarakat sudah mengantuk karena waktu sudah menunjukann jam 21.00 WIT dan diskusi masih belum dimulai. Melihat kondisi yang tenang relawan tadi akhirnya berkata, kalau begitu untuk tidak membuang waktu, mari mulai diskusi dengan peserta di bagi tiga kelompok.
Orang Papua ternyata tidak bersedia jika disebut orang miskin, karena anggapan mereka orang miskin adalah orang yang tidak bisa makan, mengemis, tidur di bawah jembatan seperti yang tergambar di Jawa lewat media massa atau elektronik. Namun ada yang tak kalah menariknya saat saya menanyakan jika ada bantuan khusus untuk orang yang miskin kira-kira bapak dan ibu mau tidak mendapat bantuan tersebut. Jawaban dari semua peserta yang hadir tersebut adalah mau, kami warga Papua mau dan layak mendapat bantuan.
BKM ”KU” SAYANG, BKM “KU” ………………….

By. Tamharuddin

Anggota Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Klasaman terdiri dari bermacam suku, usia dan profesi. Perbedaan ragam anggota yang tergabung dalam keanggotaan BKM tentu akan menjadi corak sendiri.. Suku, umur dan latar belakang seseorang tentu akan mempengaruhi karakter dalam diri sesorang, shingga perbedaan karakter pun harus di pahami oleh semua anggota BKM yang terpilih agar perjalanan dalam mencapai tujuan BKM sebagai sebuah organisasi tidak menghadapi persoalan berarti.
Tujuan yang khendak di capai BKM tidak mungkin terjadi jika sesama anggota BKM tidak prnah melakukan kegiatan dalam bentuk pertemuan yang rutin. Pertemuan yang dijadwalkan secara rutin diharapkan menghasilkan sebuah komitmen, dan ide yang ada pada satu orang akan menjadi sebuah bahan diskusi untuk dilaksanakan secara bersama. Berangkat dari peemikiran tersebut BKM Klasaman menjadwalkan pertemuan rutin dalam rangka menggagas atau mengevaluasi kegiatan, di sepakati pertemuan rutin atau koordinasi dilaksanakan pada hari Sabtu pada jam 16.00 WIT, brtempat di secretariat.
Koordinasi dalam membahas persoalan yang berkaitan dengan kegiatan selanjutnya membuat anggota yang satu dan lainnya saling mengenal. Anggota yang satu mulai mengenali karakter anggota yang lain, terkadang tidak jarang karakter anggota yang satu menjadi persoalan bagi anggota yang lain. Karakter seseorang terkadang tidak terkontrol di hadapan orang lain sehingga ada anggapan bahwa si “A” tidak bisa menyesuaikan diri, bahwa si A tadi terbawa saat berkumpul sesama sukunya.
Sebagai contoh orang batak yang kalau bicara selalu membawa nama hewan seperti “Babi, Anjing, dan lain-lain” (komplit seperti kebun binatang). Kalau pak Simbolon (orang batak satu ini) sudah bicara, terkadang saya hanya tersenyum dan melirik yang bisa dilirik sambil menunggu kapan kata-kata tersebut keluar. Berbeda dengan saya yang telah mengerti dan memahami pak Simbolon, tidak begitu dengan ibu Farida yang asli orang Bugis, sempat ibu ini mnjadi takut dengan apa yang dibicarakan pak Simbolon. Ibu Farida tidak sendiri, di sana ada pak Suyono orang Jawa yang brfrofesi sebagai guru, pak Suyono sedikit kaget dengan apa yang di dengar (muda-mudahan hanya sedikit dan tidak menerus).
Kondisi di atas tidak berlangsung lama, satu sama lain mencoba memahami latar belakang masing-masing. Sesuai dengan perjalanan waktu banyak hal akhirnya dapat dipahami bersama. Setelah selesai dengan persoalan suku timbul hal lain menjadi persoalan, walaupun tidak sehebat kesukuan.
Usia yang berbeda jauh ternyata menimbulkan persoalan tersendiri, berberapa orang anggota BKM yang sudah berumur, yang seharusnya cukup matang dalam pengendalian diri. Sikap anggota yang berumur ternyata sangat emosional, sangat berbeda dengan umurnya. Sebut pak Mamoribo usia sudah 64 tahun asli orang Papua, kalau berbicara nadanya cepat sekali meninggi dan kalau bicara tidak lupa dengan menggerakan tangan ke lawan bicara (bisa di bayangkan kalau orang tidak kenal). Kalau sudah begitu anggota lain harus menyabarkannya dan tidak meneruskan topic pembicaraan sebelum ia dingin terlebih dahulu.
Satu lagi anggota BKM yang sudah cukup berumur, namanya pak Mstafa umur 54 tahun, berbeda dengan pak Mamoribo pak Mustafa kalau berbicara sangat berwibawa, dan sangat menyetuh. Jalan keluar yang ditawarkan sangat bijak (maklum namanya orang tua), dan sangat mendukung anak muda mengambil sikap yang cepat dan tepat. Faktor usia dan banyak kegiatan keseharian membuat bapak ini sering lupa apa yang sudah di putuskan. Artinya apa yang sudah di sepakati, terlupakan oleh beliau, sehingga sering terjadi kesalahan informasi. Sebagai contoh suatu saat anggota sepakat untuk memutuskan nama Unit Pelaksana (UP) yang telah mendaftar dan pak Mustafa di minta saran terutama mengenai nama mana yang akan di terima. Berbagai pertimbangan ia lontarkan, dan anggota sepakat mengikuti berberapa petuahnya. Sehari berselang setelah keputusan di ambil, beliau telepon saya dan meminta soal untuk mengetes berberapa orang yang mendaftar lagi untuk UP. Bisa di bayangkan bagaimana cara terbaik menjawab teleponya untuk tidak menyakiti hatinya.
Lain lagi anggota perempuan yang berasal dari Ambon, namanya Leni Ualahayanan umur 38 tahun, masih muda dan masih energik lah (anak sudah tiga). Setiap koordinasi selalu berusaha untuk hadir kalau bukan ada halangan yang penting. Terlalu energiknya terkadang di salah artikan oleh anggota yang lain terutama yang usia tua. Maksudnya baik agar semua proses cepat, sehingga tidak jarang ia main tunjuk. Terkadang yang di tunjuk adalah orang yang berumur, karena sudah tua terkadang yang ditunjuk tidak bersedia dengan berbagai alasan misalnya karena repot dan lain-lain. Kalau yang ditunjuk tidak bersedia dan ibu kita terdesak, sehingga ia menawarkan diri, menurutnya prosedur menawarkan sudah dilakukan. Pertama semua setuju, namun kesempatan lain terutama yang tua melontarkan bahwa setiap orang tidak boleh menonjolkan diri sendiri, kontan ibu kita tersinggung. Kata “menonjolkan diri” tersebut tidak diterima ibu kita, setelah pulangpun tetap dalam kondisi marah (tidak menerima). Sehingga sempat muncul niat dan disampaikan ke anggota lain kalau ibu kita akan mengundurkan diri dari anggota BKM.
Melihat gelagat dan ancaman serius saya berusaha meredam dan mencoba mendinginkan ibu kita berberapa hari berselang dari pertemuan “maut” itu. Setelah berbicara panjang lebar saya tidak bertanya apakah ibu tetap berniat untuk mundur dari anggota BKM, tetapi langsung saya sodorkan tugas untuk ke Notaris, ternyata di sambut dengan baik, saya tidak tahu apakah ibu kita akan mundur atau tidak, kita semua tidak perlu tahu.
Sementara ini baru nama-nama itu yang dapat di ceritakan, dan anggota BKM Klasaman berjumlah 13 orang. Cerita ini menimbulkan sikap dan penilaian tersendiri bagi setiap orang terutama bagi saya yang selalu setia mendampingi anggota BKM ini. Terkadang saya larut dalam lamunan dan terucap BKM KU sayang , BKM KU sayang, BKM KU sayang.

PAGI BUTA MEREKA MENCOBLOS (MEMILIH TIGA NAMA)

By. Tamharuddin

Pemilihan utusan tingkat RT memang semarak dan ada saja hal yang menarik untuk di ceritakan, salah satunya adalah pemilihan utusan di tingkat RT pada RW I Kelurahan Klasaman. Pemilihan di laksanakan di saat orang lain masih menikmati rasa kantuk, atau masih tiduran karena masih terlalu pagi untuk beraktifitas, yaitu jam 06.30 WIT. Karena pemilihan di mulai pagi hari jadi pada jam 07.15 WIT sudah bisa di adakan penghitungan suara.
Kisahnya sederhana kenapa pemilihan di RT 06 ini sangat di luar kebiasaan di RT-RT lain. Pada hari minggu, Tanggal 08 Oktober 2006 di jadwalkan pemilihan tingkat RT di RW I. Untuk mempercepat dan tidak terlalu merepotkan, panitia sepakat pemilihan di RW I bersamaan harinya dan di tempat yang sama. RW I terdiri dari 6 RT, masing-masing RT telah mempersiapkan panitia dan kartu untuk di ambil setiap pemilih. Setelah saya perhatikan peserta dari RT 6 hanya ada 3 orang, yaitu Bapak RT (Opie), Bapak Marthen, dan bapak Albert. Kemudian saya bertanya ke panitia Bapak Melki Osok, pak, RT 6 warganya di undang kah untuk mengikuti pemilihan hari ini, ya katanya, semua ketua RT sudah di beritahukan untuk mengikuti pemilihan hari ini.
Setelah mendapat penjelasan dari bapak Melki saya menunggu berberapa saat, mungkin saja banyak warga RT 06 yang belum sempat hadir atau menunggu suasana agak dingin atau mulai teduh atau waktu sore. Maklum pemilihan di laksanakan jam 13.00 WIT setelah warga selesai sembayang di gereja, karena RW I mayoritas Kristen. Jam 13.40 saya lihat masyarakat sudah banyak yang berkumpul dan saya persilakan pak Melki selaku panitia pemilihan tingkat RW untuk membuka dan memberikan sedikit penjelasan tentang tata cara pemilihan.
Suara pak melki yang lantang membuat suara tersebut terdengar dengan jelas oleh masyarakat. Bapak Melki menjelaskan tata cara pemilihan sambil menyuruh sesorang untuk memperagakan dan kemana setiap orang memasukan suaranya ke kotak yang di sediakan berdasarkan RT masing-masing. Karena pada saat pemilihan di RW I hadir bapak Saleh selaku pematau di tingkat Kelurahan, saya meminta agar bapak Saleh duduk di meja dekat pengambilan kartu suara.
Pemilihan masih berlangsung saya melihat dari RT 06 jumlah yang hadir masih sedikit sekali, saya menghampiri bapak RT 06 dan menanyakan kemana warga RT 06 yang akan mengikuti pemilihan hari ini. Kebingungan bapak RT menjawab bahwa menurut informasi dari panitia bahwa hari ini hanya akan memilih 3 orang dari RW I yang nanti akan di utus mengikuti pemilihan tingkat Kelurahan. Karena saya melihat ada kesalahan dalam menerima informasi dan saya berunding ke panitia bagaimana untuk RT 06 yang tempatnya terpisah dengan RT-RT yang ada di RW I dilaksanakan sendiri saja. Bapak melki setuju tapi kalau bisa secepatnya agar pemilihan di tingkat kelurahan tidak mengalami penundaan.
Saya menghampiri 3 orang utusan dari RT 06 dan menanyakan apakah RT 06 siap untuk mengadakan pemilihan sendiri dalam waktu dekat. Ke tiga orang yang hadir menyatakan siap dan kemudian berunding untuk menentukan waktu pemilihan. Setelah berunding mereka bertanya kepada saya, kalau besok, senin (Tanggal 09 Oktober 2006) ada RT lain yang mengadakan pemilihan tidak(agar tidak bertabrakan maksudnya). Kemudian saya melihat jadwal pemilihan, apakah hari Senin ada kegiatan pemilihan, ternyata hari senin ada pemilihan di RT 1 dan 2 di RW IV, jam pelaksanaan pagi jam 08.00 WIT dan sore nya ada pemilihan di RT 4 RW IV yaitu jam 16.00 WIT.
Kemudian mereka bertanya bagaimana kalau kegiatan pemilihan di laksnakan pagi hari sebelum pelaksanaan di RT 1 dan 2 RW IV. Saya kemudian balik bertanya jam berapa pelaksanaannya kalau sebelum kegiatan di RW IV yang dilaksanakan pada jam 08.00 WIT, mereka dengan yakin berkata jam 06.00 WIT masyarakat sudah berkumpul dan pemilihan akan selesai sekitar jam 07.30 WIT sehingga tidak menggangu kegiatan bapak ke RW IV untuk meilhat pemilihan di sana. Sebentar saya katakana saya akan berdiskusi dulu dengan panitia apakah mereka bersedia hadir kalau sepagi itu, padahal saya pikir saya sendiri masih tidur karena setelah sholat Subuh biasanya saya tertidur lagi (tapi ini Rahasia) dan untuk konsumsi sendiri saja. Jawaban pak Melki ternyata sangat mengejutkan bahwa beliau setuju dan besok jam 06.00 WIT ia jamin sudah berada di RT 06 walau lokasi lumayan jauh dari rumahnya. Akhirnya saya katakana saya dan panitia bersedia hadir besok jam 06.00 WIT, dengan pesan mungkin saya agak telat jam 07.00 WIT baru datang dan tak perlu tunggu saya biar penitia yaitu pak Melki yang akan dahuluan, satu lagi jangan molor karena jam 08.00 WIT saya ada pmilihan di RW IV.
Setelah makan sahur dan Sholat Subuh saya berusaha untuk tidak tidur, namun karena mata tidak kompromi saya tertidur, bangun-bangun waktu sudah menunjukan jam 06.15 WIT. Karena puasa jadi tidak repot untuk makan atau sarafan pagi, mandi dan langsung berangkat. Untung perjalanan Rumah ke lokasi tidak terlalu jauh, sekitar jam 06.45 saya tiba, benar pak melki sudah berada di lokasi menurut pak RT jam 06.00 WIT pak Melki sudah berada di lokasi bersama kami. Saya lihat masyarakat masih banyak yang berkumpul dan masih ada berberapa yang memilih. Orang yang sudah memilih ingin melihat penghitungan suara sebelum berangkat ke ladang.
Setelah di tunggu berberapa saat tidak ada lagi masyrakat yang memilih panitia memutuskan untuk menghitung kartu suara. Kotak suara di buka panitia dan kartu suara di tumpahkan di atas meja. Setelah di periksa dan panitia mengangkat kotak menunjukan bahwa kotak sudah kosong. Penghitungan kartu suara di mulai, ternyata yang memilih sejumlah 154 orang. Panitia mencocokan jumlah suara yang masuk dengan jumlah absen yang ada, jumlahnya sama. Panitia meminta kertas besar dan spidol untuk segera menghitung.
Penghitungan berjalan lancar ada banyak nama yang disebut, jumlah nama yang di sebut adalah 35 orang ada di antaranya wanita. Penghitungan selesai dan kelihatan jumlah perolehan suara terbanyak. Namun di sayangkan jumlah suara yang memilih perempuan sangat sedikit. Berikut nama dan perolehan suara di RT 06 :
1. Marthn Sagisolo Jumlah 55 suara
2. Albert Kaliele Jumlah 48 suara
3. Daud Marar Jumlah 20 suara
Dan sisanya rata-rata 6 dan ada yang hanya mendapatkan 1 suara, ya itulah namanya pemilihan dan di P2KP setiap orang bisa saja memilih peribadinya sendiri asal dirasanya termasuk orang yang jujur, baik, ikhlas dan bertanggunga jawab.
Jam 08.05 WIT penghitungan selesai dan saya segera menuju pemilihan di RT berikutnya, coblos lagi-coblos lagi, pilih lagi-pilih lagi.
KITONG (KITA SEMUA) MISKIN KARENA. ..................................?

By. Tamharuddin

Pelaksanaaan Refleksi Kemiskinan di RW IV Kelurhan Klasaman sesuai jadwal yang disepakati tim faskel dan relawan adalah hari Sabtu, 2 September 2006 jam 08.00 WIT (karna mayoritas warga adalah petani), bertempat di rumah ketua RT, tepatnya di RT 01. RW IV terdiri dari 6 RT, 4 RT sudah dilaksanakan berberapa hari yang lalu. Sesuai jam yang direncanakan tim faskel hadir, belum ada warga yang hadir, tetapi bapak Zet Malaseme selaku ketua RT telah mempersiapkan tempat sejak pagi-pagi sekali. Saya menyampaikan salam ke ketua RT, dan langsung dipersilakan masuk ruangan yang akan dipakai. Wah maaf ini pak, sudah jam 08.00 WIT warga belum ada yang muncul. Tidak apa-apa pak kita tunggu saja, tapi undangan sudah disebar relawan pak tanya saya?. Ya semua undangan sudah disebar dan saya yang menanda tangani, barusan saya suda toki (pukul, bahasa Papua) lonceng agar warga kumpul, jawab nya, jumlahnya yang di undang juga banyak, yaitu 40 orang.
Sekitar 10 menit tim faskel menunggu, warga mulai berdatangan tetapi masih berdiri dan bercerita satu sama lain di luar. Melihat kondisi itu saya berbisik ke ketua RW bagaimana kalau kita minta masuk semua warga yang sudah hadir. Kita tunggu lagi sebentar lagi saja jawab pak Zet, karena warga masih terlalu sedikit selain itu relawan juga belum terlihat. Jam 08.20 WIT, gantian ketua RW yang berbisik ke saya, sudah pak kita mulai saja, itu relawan sudah datang dan warga yang terlambat biar menyesuaikan saja. Baik pak karena waktu mulai siang jangan sampai warga tidak bisa ke ladang nantinya.
Sebelum diskusi di mulai, ketua RW membacakan susunan acara terlebih dahulu, salah satu acaranya adalah sosialisasi tentang Refleksi Kemiskinan oleh relawan yang ada. Relawan menyampaikan teknis nanti dalam berdiskusi terutama karena di ruangan yang hadir terdiri dari 2 RT, jadi nanti diharapkan warga duduk berdasarkan RT masing-masing.
Mengingat waktu mulai siang diskusi dimulai, namun warga dibagi menjadi 4 kelompok yang masing-masing RT terbagi 2 kelompok. Relawan memandu yang didampingi fasilitator. Saat peserta di tanyakan perbedaan antara orang miskin dengan orang yang mampu, jawaban mereka sangat sederhana yaitu kalau orang yang kaya adalah yang menjadi pegawai negeri. Sementara kalau orang yang menjadi petani adalah orang yang tidak mampu.
Jawaban yang dilontarkan peserta dalam kelompok tersebut sangat sederhana, kemudian saya bertanya bagaimana dengan pegawai negeri yang mempunyai golongan 1 dan anaknya banyak. Walaupun dengan analogi seperti itu tetapi dalam fikiran peserta jika pegawai negeri termasuk orang yang mampu. Karena peserta yang lainpun sepakat bahwa salah satu yang membedakan orang mampu dan tidak mampu dilihat dari statusnya sebagai pegawai negeri atau bukan pegawai negeri. Diskusi berkembang sehingga muncul hal lain yang menjadi pembeda orang mampu dan yang tidak mampu, seperti rumah tidak layak, dan tidak punya kerjaan tetap.
Saat peserta di tanyakan mengapa mereka menjadi miskin. Seorang bapak kemudian angkat bicara bahwa warga kami miskin ini karena ulah pemerintah yang tidak pernah memperhatikan kami tarutama petani (bapak ini pensiunan). Bapak tadi mencontohkan apa yang ada dilingkungan kami sekarang ini semata-mata karena keswadayaan kami. Bapak-bapak bisa lihat sendiri bahwa kami mayoritas keluarga petani, seharusnya pemerintah memberikan kami pelatihan dan penyuluhan bagaimana cara bercocok tanam yang baik seperti orang seberang (Orang Jawa, red). Seharusnya pemerintah memberi bantuan pupuk agar apa yang kami tanam benar-benar baik. Karena ketidak pedulian pemerintah itulah kami tetap dalam kehidupan seperti sekarang ini. Peserta yang lain setuju apa yang di sampaikan tersebut. Lihatlah bagaimana warga kami kalau bercocok tanam tidak ada yang khusus menanam satu tenaman di tempat tertentu dan dengan perawatan benar, tetapi lebih cendrung asal tanaman dan akhirnya kalau gagal berpindah tempat, di lahan lain seperti itu juga.
Semangat bapak tersebut cukup bagus dan beliau memberikan contoh dari dinas pertanian yang tidak pernah bersedia terjun langsung berbeda dengan berberapa tahun yang lalu (si bapak menyebut satu nama tapi saya lupa namanya), sekarang pegawai pertanian walaupun sudah di minta untuk datang tetapi tetap tidak bersedia datang. Harapan kami bapak mau menjembatani antara keinginan kami untuk mendapat pengetahuan berrtani yang baik (terutama yang petani).
Keinginan warga sebenarnya sederhana, yaitu mendapatkan perhatian dari pemerintah baik dalam bentuk pelatihan atau bentuk penyuluhan yang dapat membantu merubah cara atau pola bertani yang di rasa kurang berhasil selama ini.
SATU JUTA RUPIAH (1000.000) MENJADI UJIAN ANGGOTA BKM KLASAMAN

By. Tamharuddin


Organisasi baru atau sebuah lembaga baru seperti BKM tentu sangat membutuhkan banyak hal, yang diharapkan akan membuat lembaga tersebut kuat. BKM ibarat bayi yang baru lahir, masih sangat membutuhkan bantuan dan masukan dalam segala hal, terutama materi dan motivasional dalam rangka penyatuan gerak untuk mencapai tujuan. Apalagi BKM merupakan sebuah lembaga yang diharapkan dapat membantu masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan. Artinya kemampuan anggota BKM dalam mengenal, merencanakan, memutuskan dan mengevaluasi semua kondisi dalam lingkungan sangat dinanti seluruh masyarakat.
Menyadari BKM sebagai lembaga baru yang sangat membutuhkan bantuan, terutama yang berkaitan dengan pembinaan dan pendanaan. Pembinaan bisa dalam bentuk pembekalan dan bantuan dalam bentuk dana, tentu akan meningkatkan kemampauan dan kepercayaan yang dibutuhkan anggota. Kemampuan dan kepercayaan BKM sebagai lembaga merupakan sebuah modal awal yang nanti bisa mempercepat gerak anggota dalam membantu masyarakat keluar dari persoalan yang dihadapi.
Kepercayaan Kepala distrik Sorong timur terhadap anggota BKM di buktikan dengan memberikan insentif atau bantuan dalam bentuk dana. Sebagai lembaga baru BKM menyambut bantuan tersebut, bantuan tersebut tentu sangat berarti, terutama karena ke depan sangat banyak yang harus dipersiapkan dalam rangka mencapai visi dan misi BKM.
Mendapat kepercayaan dan bantuan dana segar dari Kepala DIstrik Sorong Timur, Badan Keswadayaan Masyarkat (BKM) Klasaman seolah memiliki amunisi dan energi baru. Dana segar tersebut di berikan Kepala Distrik Sorong Timur saat anggota BKM Klasaman menemui beliau dalam rangka memperkenalkan anggota BKM, walaupun sebenarnya mayoritas anggota BKM sudah di kenal Kepala Distrik, karena anggota BKM Klasaman banyak yang menjabat ketua RW atau RT. Namun sebagai lembaga baru yang berada di tingkat kelurahan ada baiknya untuk memperkenalkan kepengurusan dan kedudukan di mulai di tingkat kelurahan dan distrik, bahkan sampai ke walikota selaku pimpinan tertinggi di tingkat kota.
Seiring dengan perjalanan waktu, BKM yang mulai melakukan kegiatan tantu banyak peristiwa yang menarik bahkan yang mengkhawatirkan BKM sebagai kumpulan berberapa orang yang tidak saling mengenal sebelumnya. Hal yang mengkhawatirkan terutama dalam pengelolaan dana bantuan dari Kepala Distrik Sorong Timur. Bantuan tersebut menjadi ujian pertama yang di hadapi anggota BKM. Berberapa hal yang tidak diharapkan terjadi, seperti adanya kecurigaan di antara berberapa anggota.
Kecurigaan itu mencapai puncaknya saat koordinasi yang diadakan mendadak pada hari minggu 27 November 2006 (koordinasi rutin BKM sesuai jadwal hari Sabtu sore), sehari setelah koordinasi rutin. Koordinasi itu menjadi ajang berberapa anggota BKM untuk melihat laporan keuangan dan meneliti pengeluaran. Sungguh sangat di sayangkan peristiwa itu, adanya kecurigaan sangat jelas terlihat, salah satunya dengan di periksa nya semua item pengeluaran oleh sebagian anggota BKM (dengan dalih keterbukaan/transparansi).
Setelah pelaporan keuangan selesai dan saat memasuki acara lain-lain, saya selaku fasilitator minta waktu berbicara. Kesempatan yang ada saya manfaatkan untuk mencoba membangkitkan lagi semangat kebersamaan. Saya mengajak kejadian ini menjadi sebuah pelajaran yang sangat berarti, bahwa uang memang BKM butuhkan namun uang juga bisa membuat kita saling curiga, dan saling tidak percaya. Saya mengajak untuk mencoba saling memafkan kesalahan dan terbuka terutama mengenai keuangan yang ada dan jangan jadikan uang sesuatu yang menghancurkan cita-cita mulia kita untuk membantu masyarakat.
Kalau ditelusuri lagi ke belakang saat Kepala Distrik memberikan dana sejumlah Rp. 1000.000 (satu juta rupiah) saya dan koorkot yang pada waktu pertemuan itu hadir sangat bangga dan besar sekali harapan bahwa dana tersebut dapat membantu kegiatan anggota BKM melangkah. Namun dengan berjalannya waktu dan apa yang terjadi dalam anggota BKM menyurutkan semangat dan menimbulkan rasa kecewa yang mendalam. Selama ini saya berharap dana tersebut dapat menambah atau memperkokoh komitmen dan semangat anggota BKM, ternyata saya keliru justru dana tersebut menimbulkan sedikit persoalan.
Kejadian tersebut tidak membuat saya dan anggota BKM menyesali dan terus menerus menyalahkan salah satu fihak, tetapi saya mencoba mengajak anggota BKM melupakan dan bersikap wajar agar tidak menjadi persoalan berlarut-larut. Kejadian tersebut adalah ujian pertama anggota BKM, karena ini suatu ujian tantu akan memunculkan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama jika anggota BKM mampu mengatasi ujian ini dan mau belajar dari ujian ini, tentu akan membuahkan hasil yang berarti dan BKM ATAA (Persauadaraan, bahasa Papua) memiliki pengalaman yang berharga. Kemungkinan ke dua, jika anggota BKM gagal dan anggota BKM larut dalam saling curiga an tidak percaya, tentu akan menimbulkan ketidak harmonisan dan persinggungan terutama antar sesama anggota BKM.
Sebagai fasilitator saya sangat tidak berharap jika kemungkinan ke dua yang terjadi, dan saya berdoa di setiap selesai sholat agar hati anggota BKM menjadi satu kembali. Saya berharap kebersamaan yang baru di bina menjadi mekar kembali dan akan menimbulkan bau yang harum bagi masyarakat dan sesama anggota BKM. Saya juga yakin kalau semua anggota BKM yang terpilih tidak ada yang mengkhendaki hal di atas terjadi. Saya juga berkeyakinan kejadian ini akan segera dilupakan dengan tidak ada keinginan unutuk mengulangi kembali. Semoga kejadian di atas benar-benar menjadi sebua pelajaran yang sangat berharga, dan saya sekali lagi yakin anggota BKM akan menjadikan pengalaman ini sebagai guru. Saya ingat pepatah kalau pengalaman adalah guru yang terbaik. Persaudaraan akan terjadi kembali di dalam anggota BKM, seperti harapan semula sewaktu anggota BKM memberikan nama ATAA (persaudaraan, bahasa suku MOI, Papua) untuk nama BKM. Harapan saya bahwa yang mengawali atau yang mempunyai ide agar keuangan tersebut di beritahukan di depan semua anggota BKM, tidak sedikitpun mempunyai keinginan untuk mempermalukan atau menuduh orang lain. Keinginan tersebut semata karena ingin adanya kerjasama yang baik antara semua anggota BKM. Selamat bekerja anggota BKM Klasaman mari kita singkirkan semua yang apat menyebabkan kita tidak saling percaya.
HEWAN PELIHARAAN PUN MENJADI SAKSI
(Saat Refleksi Kemiskinan RW VIII Klademak)

By. Tamharuddin

Diskusi refleksi kemiskinan di RW VIII Kelurahan Klademak berjalan lancar walaupun waktu yang di janjikan sempat tertunda. Waktu semula direncanakan pada jam 16.30 WIT namun karena sampai waktunya belum ada yang hadir, sementara tim faskel sudah datang, ketua RW pak Agustinus Srauns berbisik “sebentar ya pak saya akan panggil warga untuk datang”. Berberapa menit pak Agustinus berteriak memanggil warga dengan suara yang keras dan semakin lama semakin meninggi. Karena teriakan ketua RW warga yang mendengar, satu persatu bermunculan dan berkumpul di sekitar rumah ketua RT 04 bapak Mesakh Salossa.
Setelah dirasakan warga yang hadir sudah cukup untuk melakukan diskusi, saya menghampri ketua RW yang sedang membaca bahan diskusi. Bagaimana bapak, acara bisa dimulai kah. Mari sudah (jawab ketua RW) kita mulai saja masyarakat masih banyak di kebun biar nanti yang datang membuat kelompok lain. Kemudian saya menghampiri relawan dan meminta untuk membagi warga berdasarkan RT masing-masing, dan sesuai dengan kondisi ekonomi mampu atau tidak mampu menurut relawan. Setelah terbagi menjadi 2 kelompok mampu dan kelompok yang tidak mampu relwan yang hadir melebur dalam kelompok yang ada.
Peserta yang ikut diskusi menjawab pertanyaan pancingan dan lontaran relawan dengan semangat. Tidak jarang terjadi perdebatan antar peserta, saat di tanyakan perbedaan orang yang mampu dan yang tidak mampu. Peserta yang satu mengatakan bahwa salah satu perbedaan dilihat dari kepemilikan rumah dan hewan peliharaan seperti babi dan lain-lain. Menurutnya orang yang mampu rumahnya memiliki penerangan PLN dan babinya banyak. Peserta yang lain kurang setuju karena menurutnya lampu dan babi itu tidak bisa menjadi ukuran mampu seseorang, karena bisa jadi lampu dipasang berberapa tahun yang lalu saat masih belum terlalu mahal dan saat pasir masih belum banyak saingan (RW VIII Klademak merupakan daerah yang mempunyai tambang pasir) sementara sekarang penambang pasir sudah banyak. Kedua katanya meneruskan babi yang dimiliki itu jarang juga kita jual, kalupun dijual untuk keperluan anak sekolah dan untuk memenuhi tuntutan budaya atau adat perkawinan dan lain-lain
Diskusi memang cukup menarik dan yang lebih menarik lagi saat pembicaraan mengenai hewan peliharan tersebut, babi dan anjing banyak berkeliaran di sekitar tempat diskusi. Saya bertanya kepada salah satu peserta, babi yang itu (saya menunjuk yang lagi bunting) kira –kira kalau dijual berapa harganya ?, jawab mereka kalau sebesar itu sekarang lagi mahal bisa sampai 700 ribu rupiah, terutama menjelang natal. Saya bertanya bukankah setiap rumah memelihara babi, karena begitu banyak babi yang berkeliaran di sini. Mereka menjawab tidak semua memiliki, bahkan katanya babi itu hanya dimilki segelintir orang saja.
Pembicaraan mengenai hewan peliharaan tersebut memang menimbulkan sikap yang berbeda, warga ada yang tidak menyetujui jika hewan itu berkeliaran, seperti yang terungkap saat sosialisasi di kantor lurah Klademak. Namun mereka juga tidak bisa berbuat banyak karena menurut mereka belum ada larangan yang tegas dari pemerintah. Kalau di perkampungan seperti ini ada yang beranggapan hewan itu tidak terlalu mengganggu tetapi jika di perkebunan warga, hewan itu merusak semua tanaman yang dimiliki warga. Karena belum ada larangan yang tegas dan persamaan sikap terhadap hewan-hewan tersebut, wajar jika kita berjalan di perkampungan di Kelurahan Klademak akan menemukan banyak sekali babi dan anjing yang berkeliaran.
Persoalan hewan peliharaan warga memang menjadi topic menarik saat diskusi berlangsung, dan ungkapan tentang banyaknya hewan yang berkeliaran tersebut belum berhubungan langsung dengan penyebab kemiskinan di wilayah tersebut. Dan semua peserta diskusi tidak sadar kalau pembicaran ditonton langsung oleh hewan yang berkeliaran di samping peserta, sayang hewan tersebut tidak bisa memberikan tanggapan apalagi protes kalau sedang di bicarakan, hewan tersebut hanya menjadi saksi nyata saat warga berdiskusi mencari rumusan tentang kemiskinan dan mencari jalan keluar dari kemiskinan.
Hewan tersebut cukup beruntung kalau masyarakat tidak merumuskan kerusakan lingkungan di sekitar karena ulah dari hewan yang berkeliaran di mana-mana. Walaupun mungkin masyarakat menyadari kalau banyak tanaman yang di rusak oleh hewan tersebut. Tetapi masyarakat belum bisa berbuat banyak selagi belum ada kesepakatan bersama perlakuan tentang hewan-hewan yang berkeliaran tersebut.
Masa yang akan datang mulai harus di pertimbangkan dengan banyaknya hewan yang berkeliaran di perkampungan di Kelurahan Klademak. Bukan suatu hal yang mustahil suatu saat hewan tersebut akan menjadi penyebab timbulnya berbagai macam penyakit, yang nantinya akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat yang lebih layak. Sekarang warga belum merasakan langsung dampak berkeliaran hewan-hewan tersebut. Tetapi nanti ada saatnya akan datang hewan tersebut menimbulkan persoalan. Kapan saat itu tiba kita tunggu saja, setahun, dua tahun, sepuluh tahun atau bahkan dalam waktu yang tidak ditentukan.
MASYARAKAT PAPUA TARADA (TIDAK ADA ) YANG MISKIN

Refleksi Kemiskinan di RW III
Kelurahan Klasaman

By. Tamharuddin

Sewaktu saya dan teman-teman lagi makan malam di warung langganan yang lokasinya dekat kantor, tiba-tiba ponsel saya berdering. Hallo, selamat malam, kata saya sambil tidak berhenti mengunyah nasi. Malam pak jawab suara di seberang ponsel saya. Maaf pak malam ini kita ada FGD (Focus Group Discusi) Refleksi Kemiskinan, bapak bisa hadir kah, karena relawan yang datang hanya saya sendiri sementara peserta kira-kira bisa di bagi menjadi tiga kelompok. Kemudian saya balik bertanya jam berapa acaranya, sekarang pak, dong (mereka, dalam bahasa Papua) su (sudah, dalam bahasa Papua) kumpul. Ya baik saya kesana, bergegas saya menyelesaikan acara makan malam, sementara teman-teman tetap menikmati hidangan yang ada, saya pamit ke teman-teman untuk menuju ke lokasi (itulah fasilitator, layaknya seorang dokter kandungan yang di panggil pasiennya karena segera mau melahirkan).
Setibanya di lokasi saya melihat orang sudah berkumpul, saya masuk dan langsung menyapa dengan salam orang Papua yaitu selamat malam, malam jawab mereka. Setelah berbasa-basi sedikit dengan relawan dan ketua RT, relawan mengatakan kalau acara di mulai saja, ya silakan kata saya.
Sebelum diskusi di mulai, relawan menjelaskan tentang P2KP dan tujuan kita mengadakan pertemuan malam ini. Saat relawan menyebutkan kata miskin, yang sering di rangkaikan dengan refleksi kemiskinan, salah seorang mengintrupsi dan dengan nada sedikit marah dia mengatakan bahwa kita orang Papua tidak ada yang miskin. Relawan kemudian memberikan pengertian seperti yang di dapatkan saat pelatihan, namun orang tersebut tetap tidaksetuju dan tidak mau mendengar lagi kata-kata miskin tersebut. Orang tersebut mencontohkan bahwa di Papua sangat kaya akan Sumber Daya Alam(SDA), emas, perak, dan tanah yang luas. Relawan mendapatkan kesulitan memberikan pengertian yang di maksud dengan kata miskin tersebut, dan ia melirik ke saya kemudian berkata mungkin fasilitator bisa menambahkan atau menjawab keinginan bapak satu ini.
Setelah ada kesempatan maka saya mencoba untuk menjelaskan bahwa kita membahas kemiskinan bukan dalam rangka untuk mengolok-olok atau menghina orang miskin, atau bukan ingin mengatakan bahwa orang Papua miskin. Tetapi kita ingin menggugah kepedulian kita bahwa di lingkungan kita ada orang yang tidak mampu untuk makan secara baik (apakah 3 kali sehari ), ada orang di sekitar kita untuk mendapatkan air bersih butuh waktu, tenaga bahkan uang. Ada juga orang di sekitar kita yang belum menikmati listrik , ada yang tidak mampu sekolah sampai ke jenjang yang tinggi. Walaupun kita tahu tanah Papua luas tetapi kita pun tahu tanah tersebut ada yang punya dan kita tidak bisa sembarang untuk memiliki. Semua juga tahu kalau kita ingin membangun di tanah manapun tentunya kita harus membeli tanah tersebut, sementara masih banyak di lingkungan kita yang tidak punya uang apalagi modal. Hal-hal itulah yang ingin kita ketahui di sekitar kita, dengan mencoba untuk merumuskan bersama tentang kemiskinan atau penyebab masih ada orang yang tidak beruntung atau orang yang kurang mampu. Dengan penjelasan yang singkat itu yang bertanya dan peserta yang lain sepintas bisa menerma.
Ruangan sempat menjadi hening sebentar, masyarakat seperti mencoba merenungkan apa yang di bahas, atau masyarakat sudah mengantuk karena waktu sudah menunjukann jam 21.00 WIT dan diskusi masih belum dimulai. Melihat kondisi yang tenang relawan tadi akhirnya berkata, kalau begitu untuk tidak membuang waktu, mari mulai diskusi dengan peserta di bagi tiga kelompok.
Orang Papua ternyata tidak bersedia jika disebut orang miskin, karena anggapan mereka orang miskin adalah orang yang tidak bisa makan, mengemis, tidur di bawah jembatan seperti yang tergambar di Jawa lewat media massa atau elektronik. Namun ada yang tak kalah menariknya saat saya menanyakan jika ada bantuan khusus untuk orang yang miskin kira-kira bapak dan ibu mau tidak mendapat bantuan tersebut. Jawaban dari semua peserta yang hadir tersebut adalah mau, kami warga Papua mau dan layak mendapat bantuan.
BKM ”KU” SAYANG, BKM “KU” ………………….

By. Tamharuddin

Anggota Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Klasaman terdiri dari bermacam suku, usia dan profesi. Perbedaan ragam anggota yang tergabung dalam keanggotaan BKM tentu akan menjadi corak sendiri.. Suku, umur dan latar belakang seseorang tentu akan mempengaruhi karakter dalam diri sesorang, shingga perbedaan karakter pun harus di pahami oleh semua anggota BKM yang terpilih agar perjalanan dalam mencapai tujuan BKM sebagai sebuah organisasi tidak menghadapi persoalan berarti.
Tujuan yang khendak di capai BKM tidak mungkin terjadi jika sesama anggota BKM tidak prnah melakukan kegiatan dalam bentuk pertemuan yang rutin. Pertemuan yang dijadwalkan secara rutin diharapkan menghasilkan sebuah komitmen, dan ide yang ada pada satu orang akan menjadi sebuah bahan diskusi untuk dilaksanakan secara bersama. Berangkat dari peemikiran tersebut BKM Klasaman menjadwalkan pertemuan rutin dalam rangka menggagas atau mengevaluasi kegiatan, di sepakati pertemuan rutin atau koordinasi dilaksanakan pada hari Sabtu pada jam 16.00 WIT, brtempat di secretariat.
Koordinasi dalam membahas persoalan yang berkaitan dengan kegiatan selanjutnya membuat anggota yang satu dan lainnya saling mengenal. Anggota yang satu mulai mengenali karakter anggota yang lain, terkadang tidak jarang karakter anggota yang satu menjadi persoalan bagi anggota yang lain. Karakter seseorang terkadang tidak terkontrol di hadapan orang lain sehingga ada anggapan bahwa si “A” tidak bisa menyesuaikan diri, bahwa si A tadi terbawa saat berkumpul sesama sukunya.
Sebagai contoh orang batak yang kalau bicara selalu membawa nama hewan seperti “Babi, Anjing, dan lain-lain” (komplit seperti kebun binatang). Kalau pak Simbolon (orang batak satu ini) sudah bicara, terkadang saya hanya tersenyum dan melirik yang bisa dilirik sambil menunggu kapan kata-kata tersebut keluar. Berbeda dengan saya yang telah mengerti dan memahami pak Simbolon, tidak begitu dengan ibu Farida yang asli orang Bugis, sempat ibu ini mnjadi takut dengan apa yang dibicarakan pak Simbolon. Ibu Farida tidak sendiri, di sana ada pak Suyono orang Jawa yang brfrofesi sebagai guru, pak Suyono sedikit kaget dengan apa yang di dengar (muda-mudahan hanya sedikit dan tidak menerus).
Kondisi di atas tidak berlangsung lama, satu sama lain mencoba memahami latar belakang masing-masing. Sesuai dengan perjalanan waktu banyak hal akhirnya dapat dipahami bersama. Setelah selesai dengan persoalan suku timbul hal lain menjadi persoalan, walaupun tidak sehebat kesukuan.
Usia yang berbeda jauh ternyata menimbulkan persoalan tersendiri, berberapa orang anggota BKM yang sudah berumur, yang seharusnya cukup matang dalam pengendalian diri. Sikap anggota yang berumur ternyata sangat emosional, sangat berbeda dengan umurnya. Sebut pak Mamoribo usia sudah 64 tahun asli orang Papua, kalau berbicara nadanya cepat sekali meninggi dan kalau bicara tidak lupa dengan menggerakan tangan ke lawan bicara (bisa di bayangkan kalau orang tidak kenal). Kalau sudah begitu anggota lain harus menyabarkannya dan tidak meneruskan topic pembicaraan sebelum ia dingin terlebih dahulu.
Satu lagi anggota BKM yang sudah cukup berumur, namanya pak Mstafa umur 54 tahun, berbeda dengan pak Mamoribo pak Mustafa kalau berbicara sangat berwibawa, dan sangat menyetuh. Jalan keluar yang ditawarkan sangat bijak (maklum namanya orang tua), dan sangat mendukung anak muda mengambil sikap yang cepat dan tepat. Faktor usia dan banyak kegiatan keseharian membuat bapak ini sering lupa apa yang sudah di putuskan. Artinya apa yang sudah di sepakati, terlupakan oleh beliau, sehingga sering terjadi kesalahan informasi. Sebagai contoh suatu saat anggota sepakat untuk memutuskan nama Unit Pelaksana (UP) yang telah mendaftar dan pak Mustafa di minta saran terutama mengenai nama mana yang akan di terima. Berbagai pertimbangan ia lontarkan, dan anggota sepakat mengikuti berberapa petuahnya. Sehari berselang setelah keputusan di ambil, beliau telepon saya dan meminta soal untuk mengetes berberapa orang yang mendaftar lagi untuk UP. Bisa di bayangkan bagaimana cara terbaik menjawab teleponya untuk tidak menyakiti hatinya.
Lain lagi anggota perempuan yang berasal dari Ambon, namanya Leni Ualahayanan umur 38 tahun, masih muda dan masih energik lah (anak sudah tiga). Setiap koordinasi selalu berusaha untuk hadir kalau bukan ada halangan yang penting. Terlalu energiknya terkadang di salah artikan oleh anggota yang lain terutama yang usia tua. Maksudnya baik agar semua proses cepat, sehingga tidak jarang ia main tunjuk. Terkadang yang di tunjuk adalah orang yang berumur, karena sudah tua terkadang yang ditunjuk tidak bersedia dengan berbagai alasan misalnya karena repot dan lain-lain. Kalau yang ditunjuk tidak bersedia dan ibu kita terdesak, sehingga ia menawarkan diri, menurutnya prosedur menawarkan sudah dilakukan. Pertama semua setuju, namun kesempatan lain terutama yang tua melontarkan bahwa setiap orang tidak boleh menonjolkan diri sendiri, kontan ibu kita tersinggung. Kata “menonjolkan diri” tersebut tidak diterima ibu kita, setelah pulangpun tetap dalam kondisi marah (tidak menerima). Sehingga sempat muncul niat dan disampaikan ke anggota lain kalau ibu kita akan mengundurkan diri dari anggota BKM.
Melihat gelagat dan ancaman serius saya berusaha meredam dan mencoba mendinginkan ibu kita berberapa hari berselang dari pertemuan “maut” itu. Setelah berbicara panjang lebar saya tidak bertanya apakah ibu tetap berniat untuk mundur dari anggota BKM, tetapi langsung saya sodorkan tugas untuk ke Notaris, ternyata di sambut dengan baik, saya tidak tahu apakah ibu kita akan mundur atau tidak, kita semua tidak perlu tahu.
Sementara ini baru nama-nama itu yang dapat di ceritakan, dan anggota BKM Klasaman berjumlah 13 orang. Cerita ini menimbulkan sikap dan penilaian tersendiri bagi setiap orang terutama bagi saya yang selalu setia mendampingi anggota BKM ini. Terkadang saya larut dalam lamunan dan terucap BKM KU sayang , BKM KU sayang, BKM KU sayang.

Monday, November 27, 2006

CERITA TENTANG FGD KEMISKINAN

Catatan dari kegiatan FGD Refleksi Kemiskinan RW 6 Kelurahan Klademak, hari selasa 5 September 2006 pukul 19.00 WIT dilaksanakan disalah satu rumah warga RW 6, kunjungan dan monitoring pada kegiatan FGD ini dilakukan bersama Tim Advisory Sonny Kusuma, TL Pilot Project Edhi Djatmiko dan Koorkot Sorong Sihabudin.

Sejak lepas maghrib aku kontak bung Kris punggawanya tim fasilitator 2, ya sekedar konfirmasi jadi atau tidak kegiatan FGD-nya, maklum jadwal-jadwal yang biasa telah disepakati seringkali gagal karena tidak hadirnya warga, cuaca buruk seperi hujan dll. Melalui sms aku dapat jawaban acara tetap berlangsung hanya kurang maksimal pesertanya sedikit, begitu kira-kira bunyi sms dari bung kris, seolah-olah khawatir dapat evaluasi, ini bisa dimaklumi karena yang akan meninjau, orang nomor satu pilot dan kidalangnya pilot (sonny dan Edhi Djatmiko) Pukul 19.15 aku dan rombongan sampai dilokasi, tempat acara dilakukan diemperan rumah warga menggunakan kursi-kursi plastik sebagai tempat duduk, dijejeran depan terdapat kursi sofa yang kelihatannya empuk yang mungkin sengaja dikeluarkan oleh si empunya rumah untuk menghormati kegiatan atau memang ini bentuk kepedulian yang punya rumah pada P2KP dan khususnya masyarakat. Nampak suasana sekeliling seperti disetting untuk acara terima tamu yang akan melamar saja.

Aku dan rombongan datang pada saat acara sudah berlangsung hampir 15 menitan kata kris... kedatangan aku dan rombongan sempat menghentikan acara, karena semua peserta berdiri menyambut kedatanagan rombonganku bersalaman sebentar ucapan selamat malam ciri khas salam orang sorong untuk malam hari tak lupa aku sampaikan juga, aku dan rombongan dipersilakan duduk didepan namun aku menolaknya dengan baik agar tidak menggangu jalanya diskusi, nampak ditembok rumah yang posisinya ada dihadapan semua peserta diskusi terpapmpang beberapa kertas A4 yang sudah banyak coretan spidol meski tidak begitu jelas, aku sedikit bisa membaca tulisan-tulisan tersebut terutama tulisan besar yang mirip kop surat.

Acara diskusi dilanjutkan dengan dipandu oleh seorang relawan asli papua Franky rumbiak, dari pengamatan selama diskusi, didapati kenyataan diluar dugaan, diskusi sangat dinamis dan penuh dengan argument-ergumen kritis peserta pada setiap bahasan, seperti saat membahas kriteria dan penyebab kemiskinan, diantaranya karena faktor pendidikan ini sempat banyak memancing argumentasi peserta, seorang peserta menyampaikan dengan lantang dan penuh percaya diri bahwa pendidikan tidak secara mutlak sebagai penyebab kemiskinan, dia menyampaikan contoh bahwa banyak orang sukses justru pendidikan tidak tamat SD sekalipun, tapi dia dapat sukses, begitu pula saat kriteria orang miskin dilihat dari penghasilan berkisar 500.000 kebawah, kembali peserta ramai, mereka memperdebatkan lima ratus ribu itu untuk ukuran tanggungan dalam keluarga berapa orang dll, (sejenak aku lihat mimik pak sony sebentar tersenyum sebentar mengkerutkan alisnya nampak rona kekaguman atau keheranan begitu jelas terlihat, hal sama nampak juga dengan edhi djatmiko, betulkah ini orang irian yang selama ini dibilang terbelakang dll. ) Tidak terlontar sedikitpun protes tentang pemakaian istilah kemiskinan, yang biasa muncul pada setiap kegiatan RK dibasis, apakah ini pertanda sudah paham atau sadar pada persoalan kemiskinan sesungguhnya. Sehingga tidak lagi dipersoalkan istilah kemiskinan….?
Suasana diskusi sejenak seperti tidak akan terkendali teriakan-teriakan tidak setuju dan argumen-ergumen silih berganti dalam setiap pembahasan. Pemahaman relawan terhadap makna dan substansi kegiatan FGD bisa dibilang baik, bahkan sempat terlontar bahwa kalau dilihat dari akar masalah kemiskinan orang sorong dan seluruh papau ini orang miskin.
Dari pengamatan selama prose hanya metode pengaturan alur diskusi yang mungkin cenderung membiarkan peserta saling bersautan sendir-sendiri, meski akhirnya dapat berjalan sebagaimana mestinya, meskipun pada akhirnya, kriteria, penyebab dan akar kemiskinan dapat disimpulkan/disepakati dengan baik oleh seluruh peserta yang hadir. Kriteria orang miskin menurut warga RW 06 Klademak, Orang yang tidak punya pekerjaan tetap, penghasilan 700.000 kebawah tiap bulannya dengan tanggungan keluarag 5 org, rumah tidak layak huni atap rumbia dinding papan, lantai tanah, dengan penyebab, akses modal tidak ada, tidak bisa menyekolahkan anak, kebijakan yang tidak menguntukngkan orang miskin dll, yang bermuara pada akar persoalan kemiskinan perilaku manusia dan pengambil kebijakan.
Acara diskusi selesai kris meminta pa sony memberikan sambutan penutup dan pencerahan kepada masyarakat yang hadir dalam kegiatan diskusi. Pada sambutanya disampaikan bahwa rasa kagum dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua yang hadir dan masyarakat klademak yang telah secara sadar terus berpartisipasi dalam setiap kegiatan siklus P2KP, sony menegaskan bahwa rangkaian kegiatan dalam siklus P2KP disamping sebagai media pembelajaran bagi kita semua juga sebenarnya kita sedang mencoba menumbuhkan dan membangun kepercayaan pihak luar dan masyarakat sendiri, karena kuncinya dikepercayaan ini semua bisa kita lakukan dan dapatkan, contoh orang miskin papa bisa saja naik BMW atau pegang uang jutaan bahkan miliaran rupiah, meski BMW dan uang itu milik orang lain tapi karena orang itu percaya kepada kita sehingga tidak ada perasaan khawatir curiga akan dibawa lari atau digelapkan, nah hal ini penting kita ciptakan dalam pengelolaan P2KP atau yang lainnya. Ditambahkan pula bahwa ibarat bahanan makanan menurut sony, apakah bahan tersebut mau dijadikan makanan/kue yang enak, yang tidak enak atau yang biasa-biasa atau dibiarkan basi saja, ini tergantung pada kita semua, begitu pula pengelolaan P2KP apakah mau dikelola dengan baik sehingga bisa membawa manfaat atau bagaimana.? Kalau mau baik sudah bisa dipastikan kita harus mengawali prosesnya dengan baik, salah satu prosesnya ialah kegiatan yang saat ini sedang kita lakukan, kemudian diamini oleh semua peserta. Memang proses nya memakan waktu dan tenaga tapi hal ini tidak akan sebanding dengan apa yang kita capai selanjutnya apabila kita sudah bisa memperlihatkan kepada sekitar kita tentang kepercayaan itu tadi.
Di akhir sambutannya sony kembali menyampaikan terima kasih dan permohonan maaf kepada seluruh peserta karena baru dapat bersilaturrahmi dan berkunjung ke kota sorong ini.
Acara kemudian ditutup dengan do’a yang dibawakan dalam keyakinan nasrani oleh salah seorang peserta.

Tuesday, September 05, 2006

ANALISIS TINGKAT PARTISIPATIF

Wilayah Kelurahan Klabala merupakan permukiman yang dihuni oleh penduduk pendatang baik yang berasal dari asli Papua maupun pendatang dari luar pulau. Kondisi ini mempengaruhi pola interaksi dan tingkat partisipasi yang terjadi di masyarakat.
Untuk mengkaji sejauhmana tingkat partisipasi warga dalam pelaksanaan kegiatan P2KP secara garis besar dilatarbelakangi oleh sikap dan cara pandang yang dominan yang menjadi ciri masing- masing pendatang tersebut.
Sebagaimana pernah dipaparkan dalam kajian analisis social, pendatang asli papua yang dominant bermukim di kelurahan Klabala adalah suku – suku yang berasal dari pegunungan di sekitar Sorong yaitu suku Ayamaru, Aifat, Aitinyu, dan Teminabuan . Suku ini biasanya mengelompok dalam satu wilayah di daerah perbukitan yang ada di kelurahan ini.Ada juga Suku asli pesisir seperti serui, raja ampat , inanwatan namun jumlahnya relative kecil dan biasanya tersebar. Suku pendatang luar pulau yang dominant adalah suku Key, Timur / NTT, Ambon, Bugis, dan Toraja. Terdapat juga suku luar pulau lainnya seperti jawa, Menado, Sangir, Ternate, Buton dll
Melihat keragaman suku yang mendiami wilayah ini juga menjadi gambaran pola / cirri- cirri partisipasi yang berbeda . Hal ini sedikit banyak dipengaruhi dan dilatarbelakangi oleh budaya asal mereka.
Sejauh mana pola partisipasi mereka sudah sesuai dengan cirri- cirri partisipasi dalam pengertian yang sebenarnya dalam kajian ini paling tidak dapat dikelompokkan menjadi dua pola yang berkembang yakni :


Parameter Partisipasi
1. Bersifat proaktif dan bukan reaktif artinya masyarakat ikut menalar baru bertindak.
2. Ada kesepakatan yang dilakukan oleh semua yang terlibat
3. Ada tindakan yang mengisi kesepakatan tersebut
4. Ada pembagian kewenang an dan tanggung jawab dalam kedudukan yang setara
Pendatang Asli Papua

1. Unsur proaktif masih lemah. Meskipun dalam setiap sosialisasi awal kehadiran warga cukup banyak / mudah untuk berkumpul nuansa reaktif lebih menonjol
2. Membangun kesepakatan berdasarkan tahapan- tahapan siklus P2KP dihadapkan pada sikap dan cara pandang selama ini terhadap bantuan.
3. Proses kearah pelibatan diri sesuai kesepakatan masih diwarnai oleh ketidaksabaran ingin langsung pada hasil akhir yang langsung bisa dirasakan secara material.
4. Penonjolan kepentingan antara satu RT dengan RT lainnya masih kuat sehingga menjadi hambatan bagi pembagian kewenangan dan tanggung jawab .

Pendatang luar Papua

1.Merasa sebagai pendatang sehingga cenderung bersikap kurang proaktif.
Cenderung bersifat pragmatis . Masih diwarnai kecurigaan bahwa pada akhirnya mereka tidak akan menerima apa- apa
2. Masih diwarnai kehati- hatian sehingga kurang pro aktif untuk mewujudkan / terikat pada kesepakatan- kesepakatan bersama
3.Sering lebih menekankan pada jaminan / kepastian daripada hal- hal yang mengarah pada aspek kewenangan dan tanggung jawab.

Contoh kasus :
Wilayah kelurahan Klabala yang terletak di perbukitan seperti RW 4, 6, 10 dan 11 secara dominant dihuni oleh pendatang suku asli papua. Masyarakat di wilayah itu masih mudah untuk diajak mengikuti kegiatan- kegiatan siklus yang ada secara sukarela. Keingintahuan terhadap hal- hal baru cukup tinggi namun seringkali tidak diikuti untuk proses penalaran terhadap informasi baru yang diterima. Bagi mereka pelibatan diri harus diikuti dengan bukti nyata yang langsung dirasakan manfaatnya terutama bagi individu maupun komunitas. Anggapan mereka, pihak luar termasuk fasilitator dianggap sebagai pihak yang seharusnya menjadi bagian yang mempercepat proses pembuktian itu hal ini terlontar pada setiap pertanyaan – pertanyaan yang muncul pada siklus kegiatan P2KP. Sebagai contoh pada saat sosialisasi awal pun mereka sudah mengungkapkan keluhan serta kebutuhan- kebutuhannya kemudian mereka siap untuk membentuk kepanitiaan untuk membuat proposal agar kebutuhan mereka dapat segera direalisasikan . Secara demikian pendekatan P2KP yang mengukur partisipasi dalam lingkup komunitas kelurahan sudah pasti membutuhkan waktu yang cukup lama karena hal ini berarti menyangkut pergeseran cara pandang dan perilaku. Perbedaan perilaku dan partisipasi yang cukup menonjol antara satu wilayah komunitas dengan komunitas lainnya memungkinkan proses membangun pelibatan diri berdasarkan kesepakatan dalam lingkup kelurahan sangat sulit tercapai apalagi jika hal itu harus diiringi dengan pembagian kewenangan dan tanggungjawab yang setara.
Merujuk pada jenjang partisipasi yang digambarkan oleh Sherry Arnstein maka pergeseran partisipasi yang mungkin dapat diterapkan adalah jenjang partisipasi kelompok menengah yang bercirikan informasi, konsultasi, dan penentraman dengan secara bertahap dimulai dengan komunitas yang lebih kecil ( misalnya dimulai di lingkup RT / RW tertentu ) dilakukan peningkatan jenjang partisipasi yang lebih tinggi . Jika hal ini dapat dilakukan maka diharapkan dapat menjadi contoh bagi wilayah- wilayah RT / RW lainnya.

Monday, July 31, 2006

Deskripsi tentang Proses Urbanisasi di Kota Sorong

Urbanisasi di kota Sorong dapat dideskripsikan menjadi tiga arus besar yaitu : Pertama, urbanisasi yang berasal dari desa- desa / pedalaman sekitar Sorong masih di wilayah Irian dan Papua; Kedua, urbanisasi yang berasal dari desa / pulau- pulau di luar wilayah Irian dan Papua. Dan Ketiga, urbanisasi yang berasal daerah urban juga baik dari kota- kota di wilayah Irian Jaya Barat dan Papua maupun dari kota-kota di luar wilayah Irian – Papua seperti dari Jawa, Maluku, Makasar, Sulawesi Utara, dan lain-lain.
Urbanisasi yang berasal dari desa di sekitar kota Sorong, Irian atau Papua terdiri dari :
1. Daerah pesisir seperti Biak, Serui, Raja Ampat dan beberapa wilayah pesisir kecil lainnya. Sesuai dengan asal dan mata pencaharian mereka , ketika mereka tiba di wilayah Sorong pun tempat yang dipilih sebagai tempat tinggal adalah wilayah tepi pantai di.Distrik Sorong Barat terutama kelurahan Rufei, Klawasi, dan Tanjung Kaswari .
2. Daerah pegunungan seperti Ayamaru, Aifat, Aitinyu, Teminabuan, Ninwata, Fak- fak, Marai dll. Suku- suku pegunungan yang bermata pencaharian sebagai petani dan hasil-hasil hutan inipun mendiami wilayah- wilayah perbukitan yang ada di Kota Sorong mulai dari Bukit Cendrawasih atau Rafidin di distrik Sorong Barat , puncak arfak sampai dengan bukit-bukit kawasan Makbon di wilayah Sorong timur.
Arus Urbanisasi kedua yang berasal dari desa di luar wilayah Irian dan Papua mempunyai pola bermukim yang hampir sama dengan yang pertama. Di wilayah pesisir banyak dihuni oleh pendatang bermata pencaharian utama sebagai nelayan dari daerah Buton, Selayar, Sangir, Bugis , Key, dan lain- lain. Sedangkan di wilayah perbukitan dan tanah pertanian didiami oleh pendatang bermata pencaharian sebagai petani dan hasil-hasil hutan dari Flores, Timor, Tapanuli, Bugis dan transmigran dari Jawa.
Sementara itu, daerah- daerah pemukiman yang strategis di kota Sorong yang merupakan pusat-pusat perdagangan dan pengembangan pemukiman baru lebih banyak dihuni oleh pendatang yang berasal dari daerah urban / kota lain baik dari wilayah papua / irian maupun kota- kota di luar wilayah papua/ irian.
Perbedaan tempat pemukiman terhadap ketiga pola urbanisasi di atas terjadi karena :
Pola urbanisasi yang pertama dan kedua dilatar belakangi menurunnya hasil dan upah dari mata pencaharian yang mereka tekuni ( sector pertanian, hasil hutan , perikanan, dan jasa / buruh ) sehingga menimbulkan kesulitan penghidupan di daerah asal .Motivasi utamanya adalah untuk memperoleh hasil dari mata pencaharian yang mereka kerjakan dapat lebih baik dibanding mereka tetap tinggal di desa asal ( Mengadu nasib ). Motivasi lain ( terutama dari daerah Ayamaru dan sekitarnya ) adalah supaya dapat menyekolah anak kejenjang yang lebih tinggi . Mata pencaharian yang mereka lakukan ketika datang ke kota Sorong pun hampir tidak berbeda jauh dengan mata pencaharian mereka sebelumnya seperti menjadi nelayan, petani, pengolahan hasil- hasil hutan / kayu , sector informal / pedagang kecil dan buruh kasar .
Pola urbanisasi yang ketiga datang ke kota Sorong bukan lagi sebagai spekulan karena lebih mapan dilihat dari mata pencaharian sebelumnya maupun secara ekonomi. Kebanyakan dari mereka adalah pekerja / pegawai negeri sipil di pemerintahan dan BUMN, militer dan polisi, karyawan perusahaan- perusahaan yang membuka usaha / cabang di kota Sorong, serta pedagang- pedagang yang sudah memiliki dan membawa modal untuk dikembangkan di Sorong.

Banyak cerita- cerita seputar bagaimana pendatang- pendatang kalangan birokrat sipil dan militer serta orang- orang kaya lama maupun baru dari Jayapura, Manokwari, Ambon, Makasar, Menado, Jawa; karyawan Pertamina dan kontraktor- kontraktor Pertamina serta pedagang bermodal lainnya dapat menguasai tanah- tanah strategis di kota Sorong.
Fenomena inilah yang mengawali kisah terpinggirnya pemukiman suku- suku Malamoi yang dianggap sebagai pemilik adat dari tanah- tanah yang ada di kota Sorong. Hal ini juga sangat mempengaruhi gaya hidup, sikap dan cara pandang yang mengarah pada stereotipe etnik tertentu tentang pendatang dan penduduk asli termasuk interaksi yang terjadi antar mereka.
Belum lagi kalau ditelusuri sejarah kolonialisme terutama era pemerintahan Hindia Belanda dalam memperlakukan dan mempengaruhi sikap dan kebiasaan penduduk asli pulau Irian pada umumnya.

Thursday, July 06, 2006

Tidur Di Jalan Hobiku

Setiap masyarakat dalam satu wilayah memiliki cara sendiri dalam mengungkapkan rasa kesenangan dan kegembiraan. Masyarakat yang tinggal di Sumatera memilih untuk berkumpul dengan keluarga jika dapat kesenangan. Masyarakat Jawa akan mengumpulkan orang banyak untuk berbagi kesenangan tersebut. Dalam hal keuangan yang diterima setiap bulannya, setiap masyarakat memiliki cara yang juga berbeda satu sama lain.
Masyarakat Sorong juga memiliki cara sendiri dalam melampiaskan kesenangannya jika mendapatkan uang dalam setiap bulannya. Cara masyarakat Sorong atau Irian Jaya dalam memilih kesenangan berbeda jauh dengan apa yang terbayang dalam benak orang lain. Ada pepatah yang sering diucapkan masyarakat dalam hal kondisi orang Irian Jaya dalam menerima kesenangan, terutama uang bulanan. Pepatah tersebut adalah “orang Irian jika awal akhir bulan tidur di rumah dan jika awal bulan akan tidur di got”. Artinya jika tidak punya uang mereka orang Irian akan tinggal bersama orang yang mereka sayangi, namun jika punya uang mereka akan menghabiskan uang tersebut dengan minuman hingga teller dan ujungnya sampai tertidur di jalanan. ( meskipun tidak semua orang irian demikian terutama mereka yang sudah agak maju pola berpikirnya)
Kondisi di atas tentu akan membuat kita bertanya, bagaimanakah aturan warga tersebut tentang hal yang bertentangan dengan hukum Negara dan agama tersebut. Apakah di Irian mabuk adalah suatu hal yang biasa dan tidak menimbulkan persoalan. Apakah keluarga para pemabuk tersebut tidak menjadi sasaran selama yang bersangkutan dalam kondisi mabuk. Pertanyaan tersebut timbul setiap kali mengunjungi suatu daerah yang terdapat orang yang sedang menjerit akibat minum terlalu banyak. Pemandangan orang yang menjerit dalam posisi mabuk sering ditemukan pada suatu wilayah yang masih di huni oleh banyak masyarkat asli Sorong.
Kebiasaan yang turun temurun dari orang Irian tersebut tentu bukan hal yang tidak bisa untuk dihilangkan. Peran pemerintah dan tokoh agama tentunya harus menjadi media yang paling efektif dalam mengatasi persoalan tersebut. Peran pemerintah sebagai penentu kebijakan kemudian didukung tokoh agama, membuat hukum yang dibuat sangat kuat. Selama ini pemerintah seolah menghadapi kebiasaan masyarakat yang berhubungan dengan miras dengan cara yang biasa, sehingga tidak menghasilkan produk hokum yang benar-benar menjadi acuan masyarakat dan tokoh agama. Kebiasaan yang terjadi di masyarakat jika hanya dihadapi dengan sepeleh dan tanpa kerja keras dan kemauan bersama tentu tidak akan menjawab persoalan. Apakah kebiasaan orang sebagian besar orang Irian tersebut akan menjadi kenangan atau akan semakin menjadi tentunya sangat bergantung dari semua pihak yang ada di Papua. Kalau pemerintah belum dapat sepakat dengan hokum yang akan diberlakukan tentang miras tetapi masih ada tokoh agama dan sanksi moral dari masyarakat.
Sebagai pihak yang mengetahui efek dari miras tersebut seharusnya pemerintah tidak ragu dalam mengambil kebijakan untuk membuat aturan tentang miras. Keterlibatan semua pihak juga menjadi penting, terutama para tokoh agama yang akan sering berhubungan langsung dengan masyarakat di tingkat bawah. Generasi yang dilahirkan dengan pencemaran miras akan menjadikan generasi yang lemah. Sementara tantangan kehidupan masa yang akan datang jauh lebih berat dari pada saat ini. Kepedulian semua pihak sangat berarti bagi kemajuan Papua di masa datang, apakah akan melahirkan generasi yang mabuk atau yang kuat.

Friday, June 30, 2006

Goblok Dan Bodoh di Kota Sorong

Kedua ucapan tersebut memiliki makna yang sama, keduanya sama-sama menunjukan keadaan intelektual seseorang. Namun tidak demikian halnya bagi orang Irian yang berada di Papua, terutama kota Sorong tempat Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan dilaksanakan. Tim Fasilitator yang merupakan ujung tombak P2KP di tingkat kelurahan harus mengerti dan memahami hal di atas agar tidak timbul persoalan. Seperti halnya kata kemiskinan yang bagi sebagian orang papua, terutama yang tinggal di perbukitan atau pergunungan menganggap kata tersebut tidak layak disebut. Begitu juga dengan kata bodoh, mereka akan marah dan mencoba mengelak, tetapi lain hal jika dibilang goblok, tolol dan yang mengandung arti sama dengan bodoh, mereka biasa saja dan menganggap sebagai guyonan.
Kejadian pernah di alami seorang relawan di sebuah RT untuk wilayah Klasaman, relawan tersebut bernama Marten. Pengalaman tersebut sebenarnya sudah lama terjadi alias sebelum Marten menjadi relawan P2KP. Pengalaman ia bagikan karena dalam penyampaian sosialisasi Fasilitator sering menyampaikan kalimat kebodohan dan keterblakangan. Menurut marten kebodohan itu jangan lagi disebutkan kalau sedang melaksanakan sosialisasi di perkampungan yang masih banyak suku aslinya. Masukan dari Marten sangat berharga karena menghindari ketersinggungan suku Irian pada saat sosialisasi. Bisa dibayangkan bagaiomana jalanya sosialisasi ditengah orang Irian yang marah dan jengkel karena dikatakan bodoh.
Banyak hal yang menjadi pertanyaan dalam pergaulan bermasyarakat di Irian Jaya terutama menyangkut kata-kata, karena suatu kata bisa biasa ditempat lain dan menjadi tidak biasa di sini. Melihat perbedaan sikap orang Irian dalam menyikapi kata-kata seperti kata bodoh, goblok dan tolol. Dalam benak kita tentu akan timbul pertanyaan apakah bedanya antara bodoh dan goblok atau tolol. Sehingga mereka menjadi hal biasa saja jika di bilang goblok dan tolol, dan tidak senang jika dibilang bodoh. Apakah dalam percakapan keseharian mereka jarang mendengar kata goblok dan tolol, berbeda dengan kata bodoh yang jarang juga disebutkan karena artinya kasar.
Menurut Marten kemarahan orang Irian jika disebut bodoh bermacam-macam salah satunya mereka akan berkata bahwa kami orang Irian memang bodoh (dengan nada marah), justru kami bodoh itulah kamu orang dikirim ke Irian untuk memperbaiki dan membuat kami menjadi pintar. Kata-kata itulah mereka ucapkan pertama jika mendengar mereka dibilang bodoh untuk sikap selanjutnya sangat bergantung kepada kita yang menjadi sasaran kemarahannya. Kalau kita balas dengan kata-kata lagi mereka akan mengambil minuman kemudian memanggil masyarakat (sebutan untuk orang Irian) untuk menghajar kita. Penyelesaian persoalan dengan masyarakat Irian sangat mudah cukup diamkan saja kemudian tinggalkan pergi selesai urusan.
Penyelesaian sangat sederhana dan sebenarnya bukan jalan keluar yang baik, tetapi jika orang Irian yang lagi marah sulit untuk diajak berkomunikasi. Untuk itu biasanya daripada mereka minum untuk menyelesaikan masalah dan memanggil masyarakat lebih baik tinggalkan saja. Persoalan yang ada akan selesai dengan sendiri jika orang Irian tersebut ditinggalkan. Sebenarnya hal tersebut bukan bentuk penyelesaian tetapi apabila dihadapi tentu akan menimbulkan persoalan yang baru lagi.
Pengalaman yang terjadi dan dialami oleh relawan tersebut menjadi sebuh pelajaran bagi fasilitaor yang akan berhubungan dengan masyarakat Irian. Sosialisasi akan berjalan dengan baik jika ada hal-hal yang mereka anggap kurang berkenan untuk tidak disebutkan lagi. Penyelesaian yang unik juga tidak mungkin dilaksanakan jika dalam suasana sosialisasi, fasilitaor pergi meninggalkan tempat. Bukan persoalan menjadi selesai tetapi fasilitator akan di kejar-kejar masyarkat sekampung. Bayangkan karena kata bodoh yang bisa diganti dengan goblok sosialisasi tidak bisa berjalan, ada-ada saja di Irian.
Kitorang Bukan Orang Miskin

Kemiskinan bukan perbendaharaan kata yang baik untuk orang Irian terutama untuk wilayah Sorong. Kemiskinan suatu hal yang tidak ingin orang alami, baik itu kemiskinan ilmu, harta, atau yang lainnya. Begitu halnya untuk orang Sorong, orang Sorong senang mendapatkan bantuan apa saja, baik bantuan uang, beras atau bahan-bahan bangunan. Walaupun mereka senang mendapatkan sejumlah bantuan tersebut, mereka tidak mau jika mereka disebut sebagai orang miskin. Mereka berharap jika bantuan datang karena pemerintah memiliki kekayaan dan bukan mereka miskin.
Kondisi di atas tentu menimbulkan penafsiran yang berbeda bagi setiap orang. Pertama karena dalam pemahaman umum bahwa bantuan tersebut jelas diperuntukan bagi orang yang memang miskin. Kedua bahwa pemerintah membantu agar mereka yang mendapatkan bantuan menjadi punya kesempatan untuk memanfaatkan bantuan dalam mendorong perkembangan selanjutnya. Artinya bantuan tersebut sewaktu-waktu akan diputus dan pada saat itu masyarakat yang mendapat bantuan harus sudah siap mandiri dengan memanfaatkan bantuan selama ini. Pemahaman bahwa bantuan tersbut memang berhak mereka terima karena anggapan Negara kaya dan seharusnya semua orang mendapatkan bantuan, adalah kekeliruan yang perlu diluruskan.
Keunikan memang miliknya orang Irian sepertinya, karena mereka bersedia menerima bantuan dari pemerintah walaupun jelas bantuan itu diperuntukan orang miskin, seperti raskin, biaya langsung tunai (BLT). Unik karena satu sisi mereka ingin tegar dan tidak bersedia menerima sebutan miskin, tetapi rebutan untuk dapat bantuan yang jelas diperuntukan orang miskin. Keengganan orang Irian untuk disebut sebagai orang miskin terbukti dengan marahnya seluruh orang jika ada yang menyebut ssalah satu diantara mereka miskin.
Dalam hal ini orang harus menjadi bijak dengan tidak mengulangi atau mencoba untuk menjadikan kemiskinan sebagai sebutan semata. Menyebutkan miskin dalam memberikan bantuan akan mengalami dua kemingkian. Kemungkinan pertama bantuan tersbut akan ditolak karena dianggap menghina, atau harus mengganti saat pembagian berlangsung, seperti raskin diganti dengan beras jatah. Kemungkinan kedua sebutan miskin boleh dengan catatan bantuan diberikan kepada semua orang yang hadir atau yang ada dalam wilayah tersbut. Artinya kalau mereka semua dapat bukan karena ada perbedaan dalam hal kondisi terutama dalam hal kemiskinan.
Suatu kondisi nyata yang harus dihadapi bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan dan memberikan suatu kebijakan. Dengan pemahaman akan kondisi di lapangan bahwa Indonesia memiliki keragaman dalam segala hal. Pemahaman tersebut akan menjadi sebuah cara atau sistem dalam pelaksanaan agar tidak mengalami kendala di lapangan. Akhirnya kenyataan di atas menyadarkan semua pihak akan pentingnya semua pihak bahwa Indonesia bukan hanya luas dalam hal wilayah, teapi juga luas dalam pemahaman tentang suatu kata.

Sunday, June 11, 2006

BIBIT ITU ANEH
Aku pergi kesini dengan harapan besar dapat menanamkan bibt/benih harapan yang kelak dapat ditunai oleh siapapun, aku datang jauh dari negeri sana dibekali oleh kedua orang tuaku bibit yang katanya pilihan terbaik, meski aku sudah mengingatkan orang tuaku agar satu bibit yang agak berumur itu tidak usah dibawa, karena tidak akan tumbuh dan berkembang apalagi ditanah gersang negeri yang akan aku kunjungi, aku khawatir bibit itu justru akan merepotkan ku nantinya.
Namun karena ini pilihan orang tuaku, aku menurut saja, dan pesan orangtuaku sebelum berangkat, bibit itu akan sangat bergantung kepadamu nak…! Ya tidak 100% juga, kalau aku sudah menyirami, memelihara dan memberi tempat secara khusus lalu bibit itu tidak tumbuh juga, masa aku yang disalahkan, ya tidak mau aku (protesku dalam hati). Singkat cerita aku berangkat ke negeri seberang dengan bekal 2 bibit pemberian orang tuaku, sampai dinegeri yang dituju, aku hamparkan 2 bibit itu disebuah ladang yang subur yang dengan susah payah aku mendapatkan tanah subur itu, tiap hari aku amati dan kupelihara sebagaimana mestinya, agar bibit itu mau tumbuh dan terus tumbuh hingga menghasilkan sesuatu dinegeri ini.
Tiba-tiba kudengar obrolan 2 bibit itu dihamparan tanah subur itu.
Bibit yang pertama berkata, "Aku ingin tumbuhbesar. Aku ingin menjejakkan akarku dalam-dalam di tanah ini, dan menjulangkan tunas-tunasku di atas kerasnya tanahini. Aku ingin membentangkan semua tunasku, untuk menyampaikan salam musim semi. Aku ingin merasakan kehangatan matahari, dan kelembutan embun pagi di pucuk-pucuk daunku."Dan bibit itu tumbuh, makin menjulang.Bibit yang kedua bergumam. "Aku takut. Jika kutanamkan akarku ke dalam tanah ini, aku tak tahu, apa yang akan kutemui di bawah sana. Bukankah disana sangat gelap? Dan jika kuteroboskan tunasku keatas, bukankah nanti keindahantunas-tunasku akan hilang? Tunasku ini pasti akan terkoyak. Apa yang akan terjadi jika tunasku terbuka, dan siput-siput mencoba untuk memakannya? Dan pasti, jika aku tumbuh dan merekah, semua anak kecil akan berusaha untuk mencabutku dari tanah. Tidak, akan lebih baik jika aku menunggu sampai semuanya aman."Dan bibit itupun menunggu, dalam kesendirian.Beberapa pekan kemudian, seekor ayam mengais tanah itu, menemukan bibit yang kedua tadi, dan mencaploknya segera.Renungan:Memang, selalu saja ada pilihan dalam hidup. Selalu saja ada lakon-lakon yang harus kita jalani. Namun, seringkali kita berada dalam kepesimisan, kengerian, keraguan, dan kebimbangan-kebimbangan yang kita ciptakan sendiri. Kita kerap terbuai dengan alasan-alasan untuk tak mau melangkah, tak mau menatap hidup. Karena hidup adalah pilihan, maka, hadapilah itu dengan gagah. Dan karena hidup adalah pilihan, maka, pilihlah dengan bijak. Masih adakah bibit muda yang punya semangat….?